Ini Saran Guru Besar untuk Ketahanan Pangan Kalimantan Timur dan IKN

Pakar Ilmu Kelautan dan Perikanan Prof. Dr. Ir. Muhammad Ahsin Rifa'i saat berbicara sebagai narasumber Simposium Ketahanan Pangan dan Teknologi Informasi 2024 di Gran Senyiur Balikpapan, Sabtu (25/11). Foto Media Kreatif

Simposium Ketahanan Pangan dan Teknologi Informasi 2024

UM – Universitas Mulia menggelar Simposium Ketahanan Pangan dan Teknologi Informasi 2024, bertempat di Ballroom Gran Senyiur Balikpapan, Sabtu (25/11). Prof. Dr. Ir. Muhammad Ahsin Rifa’i, M.Si, pakar Ilmu Kelautan dan Perikanan mengawali pembahasan tentang ketahanan pangan.

“Mengawali materi ini, saya ingin kita sama-sama menyaksikan atau melihat berita-berita di belahan bumi ini tentang bencana kemanusiaan,” tutur Prof. Ahsin saat membuka materi diskusi.

Prof. Ahsin kemudian menyajikan beberapa data dari World Health Organization (WHO) terkait kelaparan di beberapa negara, terutama di Afrika.

Meski demikian, dirinya mengatakan bukan saja terjadi masalah pangan, tetapi juga masalah kekurangan gizi. Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), jumlah penduduk yang menderita kekurangan gizi tahun 2019 sebesar 650,3 juta orang.

Dari jumlah tersebut, lebih dari 418 juta tinggal di Asia. Dengan rincian berada di Asia Selatan sebanyak 305,7 juta, diikuti Asia Tenggara sebanyak 48,8 juta, Asia Barat 42,3 juta, dan Asia Tengah 2,6 juta jiwa.

“Jadi, ternyata Asia itu adalah negara yang banyak mengalami kekurangan gizi. Dan, ternyata juga kalau kita lihat angka kelaparan di Asia Tenggara itu secara persentase angka penduduk, ya nomor satu itu adalah Timor Leste, nomor dua Indonesia,” ungkap Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan ini.

Berdasarkan fakta atau data tersebut, Prof. Ahsin memberikan perhatian bahwa kondisi pangan, ketahanan pangan, keamanan pangan dunia saat ini tidak sedang baik-baik saja.

Moderator H. Rizal Effendi, S.E, Wali Kota Balikpapan dua periode, 2011-2016 dan 2016-2021 bersama para narasumber Simposium Ketahanan Pangan dan Teknologi Informasi 2024. Foto: Nadya/Media Kreatif

Moderator H. Rizal Effendi, S.E, Wali Kota Balikpapan dua periode, 2011-2016 dan 2016-2021 bersama para narasumber Simposium Ketahanan Pangan dan Teknologi Informasi 2024. Foto: Nadya/Media Kreatif

Simposium Ketahanan Pangan dan Teknologi Informasi 2024 yang diselenggarakan oleh Universitas Mulia, bertempat di Gran Senyiur Balikpapan, Sabtu (25/11). Foto: Media Kreatif

Simposium Ketahanan Pangan dan Teknologi Informasi 2024 yang diselenggarakan oleh Universitas Mulia, bertempat di Gran Senyiur Balikpapan, Sabtu (25/11). Foto: Media Kreatif

Ia pun membeberkan beberapa penyebab bencana kemanusiaan di beberapa negara. “Yang pertama adalah karena kekeringan. Kekeringan ini lebih didominasi oleh yang namanya Elnino dan Lanina,” ungkapnya.

“Di Indonesia, akibat Elnino menyebabkan kemarau yang berkepanjangan, bahkan kalau tingkat parah itu hingga mencapai 9 sampai 12 bulan,” tuturnya.

Dampak Elnino lahan pertanian mengalami kekeringan, gagal panen, terjadi wabah penyakit, kebakaran hutan, juga kebutuhan air tidak cukup untuk keperluan masyarakat sehari-hari.

Masalah pangan yang kedua adalah peperangan atau konflik sehingga negara tidak mampu mengamankan kondisi pangan.

“Sebagai contoh, perang Rusia dan Ukraina. Ini contoh yang paling mudah ya, mereka itu adalah negara-negara pemasok agrikultur di dunia saat ini,” tuturnya.

Berdasarkan data yang diperolehnya, kedua negara tersebut memproduksi 29% gandum, 19% jagung, dan 78% minyak bumi.

Masalah pangan yang ketiga, terganggunya stabilitas nasional seperti gejolak politik.

“Oleh sebab itu, seperti pada saat Pilpres, Pilkada, tentu harus kita jaga tetap kondusif agar stabilitas nasional tetap terjamin dan keamanan pangan, tata niaga stok, dan lain sebagainya itu tidak akan terpengaruh, meskipun kondisinya sangat bergejolak,” tuturnya.

Masalah keempat adalah kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan keamanan pangan sangat terganggu mengingat banyak masyarakat yang tidak sanggup untuk memenuhi hajat hidupnya.

Menurut data yang diperolehnya, di Indonesia, tingkat kemiskinan mencapai 9,36%.”Jadi, masih ada 25,9 juta penduduk Indonesia itu berada di bawah garis kemiskinan. Nah, ini harus menjadi perhatian kita bersama,” tuturnya.

Masalah kelima adalah adopsi inovasi teknologi. Menurutnya, untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan juga membutuhkan bantuan teknologi.

“Misalkan, kita tidak bisa lagi mengolah tanah dengan hanya mencangkul, menanam dengan menggunakan tangan, tetapi kita harus menggunakan mekanisasi pertanian, kita harus menggunakan IoT ke depannya,” tuturnya.

Oleh sebab itu, ia sependapat dengan kebijakan pemerintah saat ini yang membangun industri pertanian dengan memiliki lahan yang luas. Ia sependapat dengan gagasan Food Estate untuk bisa dilanjutkan.

Masalah keenam adalah program ketahanan pangan nasional. Ia menghendaki adanya ketersediaan akses. Untuk itu, ia mengusulkan harus menyusun sebuah program ketahanan pangan itu yang betul-betul memperhatikan berbagai aspek.

Prof. Ahsin mengingatkan bahwa sektor perikanan, pertanian, perkebunan itu juga bagian yang sangat penting diperhatikan di dalam pengembangan ketahanan pangan.

Terkait dengan produksi pangan di Kalimantan Timur, ia mengatakan data yang digunakan dalam pemaparan berasal dari data dari Biro Statistik Provinsi Kalimantan Timur.

“Jadi, basis saya ini adalah data statistik. Jadi bukan hasil riset,” tuturnya.

Terkait kehadiran IKN, menurutnya, tentu akan membawa dampak terhadap kebutuhan pangan di Kalimantan Timur.

“Saya menyarankan, ke depan agar di sekitar IKN kita akan membangun yang namanya kawasan agropolitan, minapolitan, dan agroindustri,” tuturnya.

Dirinya juga menyarankan pengembangan kawasan pertanian sebaiknya dilakukan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Paser, dan PPU, Berau, Kutai Timur, dan Samarinda.

“Sekali lagi, saya menyatakan ini hanyalah hasil analisis data sekunder ya, bukan hasil riset melakukan aspek teknis,” tuturnya.

Di akhir pemaparan, Prof. Ahsin memberikan tiga saran kepada pemangku kepentingan untuk menuju ketahanan pangan, terutama di IKN dan Provinsi Kalimantan Timur.

“Pertama. Mari kita menyusun blueprint ketahanan pangan di kawasan penyangga, tentunya kebijakan dan program dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan,” tuturnya.

Kedua, lanjutnya, menetapkan kawasan pertanian, perikanan, dan industri di buffer-zone sesuai dengan potensi daerah terintegrasi dan berkesinambungan.

Ketiga, membangun embung-embung atau waduk untuk mencegah kekeringan irigasi pertanian, perikanan, dan pengendali banjir.

Selain itu, ia juga menyarankan untuk menurunkan angka kemiskinan, menciptakan suasana nyaman dan kondusif, memberdayakan warga lokal sebagai subjek pembangunan, membangun jaringan infrastruktur yang terkoneksi dengan kawasan bisnis untuk UMKM menjadi spin-off industri sehingga menjadi industri yang mandiri.

“Kemudian membangun sistem pertanian berbasis teknologi IoT, dan yang terakhir adalah menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen melalui ketersediaan, keterjangkauan, keamanan, dan kualitas pangan,” pungkasnya.

(SA/Puskomjar)