Kiat Menjadi Entrepreneur Sukses Bagi Mahasiswa
Pentingnya Memiliki Mentor Agar Tidak Banyak Jatuh Bangun
UM – Himpunan Mahasiswa Manajemen menggelar Seminar Kewirausahaan dengan tema Tips dan Trik Sukses Membangun Usaha Sendiri, berlangsung di Ballroom Cheng Ho, Sabtu (14/9). Dalam kesempatan itu, Heru Nugroho Susanto, seorang Entrepreneur lulusan IPB Bogor berbagi pengalaman dengan mahasiswa.
Heru yang kelahiran Bogor, 40 tahun yang lalu ini berpengalaman menjadi Entrepreneur. Ia pernah mendirikan 145 bisnis skala Small Medium Enterprise (SME) atau UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).
“Saya akan ceritakan tentang tips dan trik hal-hal terkait bisnis yang pernah saya lakukan. Bukan teori, bukan ngambil cerita orang, tapi yang saya lakukan sendiri,” tutur Heru mengawali paparannya.
Dengan pengalamannya itu, Heru berharap bisa dijadikan landasan oleh para mahasiswa tentang bagaimana cara memulai bisnis, baik dengan atau tanpa modal maupun tanpa tempat usaha. Untuk memulai bisnis, menurutnya, yang penting adalah niat.
“Kalau mau bangun bisnis tanpa niat itu yang susah,” ujarnya.
Kiat Mendirikan Usaha
Heru kemudian menerangkan bagaimana memulai bisnis bagi para mahasiswa. Salah satunya, mahasiswa bisa menjadikannya seorang mentor untuk belajar. Menurut Heru, ada setidaknya tujuh langkah yang dapat diikuti para mahasiswa.
Pertama, memiliki alasan yang kuat untuk memulai bisnis. Menurutnya, apabila mahasiswa mampu menemukan alasan yang tepat, maka ia akan bergerak untuk mendapatkannya.
“Contoh, kalau besok disuruh mendapatkan uang 100 juta, kira-kira bisa gak? Gak bisa. Tapi, kalau kita pulang ke rumah sekarang, terus orang tua kita sakit, terus butuh uang 100 juta, kalau gak besok meninggal, dicari gak?” ujarnya.
Heru mengatakan, setiap orang memiliki alasan yang berbeda-beda. Tetapi, dengan alasan apapun nantinya, hal itu menjadi pendorong dirinya untuk memulai bisnis.
“Alasan saya (berbisnis), karena istri saya banyak permintaannya. Anak saya juga begitu. Dan saya tuh paling gak bisa kalau istri sama anak saya minta saya gak bisa kasih,” ujarnya.
Kedua, make a goal before a plan. Apabila sudah mendapatkan alasan untuk memulai berbisnis, maka tentukan tujuannya sebelum membuat rencana bisnis.
“Kalau udah ketemu alasannya, baru kemudian Make a goal before a plan. Jadi, jangan kebanyakan rencana. Kalau kebanyakan rencana, nanti nggak jalan-jalan bisnisnya,” katanya.
Menurutnya, bisnis yang baik adalah bisnis yang segera dimulai, bukan yang hanya dipikirkan saja.
Berdasarkan pengalamannya, Heru melihat banyak orang yang hanya membuat rencana bisnis agar tidak menderita kerugian atau kebangkrutan. Padahal, belum tentu juga rugi.
“Bangkrut itu udah jadi part of business. Berkali-kali saya bangkrut. Dulu saya pertama kali bisnis itu adalah jual beli pupuk kandang,” ujarnya. Ia menceritakan, kala itu ia pernah berbisnis ban mobil, jual beli peti kemas, bisnis peternakan, hingga bisnis ikan lele.
Saat menjalankan bisnis ikan lele itulah, baru berjalan tiga bulan mengalami kerugian, bahkan bangkrut. Modal yang dikeluarkan 120 juta, tetapi balik modal hanya 30 juta saja.
“Jadi, saya tiap mau panen, dipanen dulu sama yang jaga. Dan akhir-akhir itu saya baru tahu bahwa daerah situ banyak mafianya,” ceritanya.
Ketiga, the power of kepepet. Terkadang, ketika dalam posisi terdesak, maka muncul kekuatan untuk berusaha. Hal ini, menurutnya, lebih baik dibanding jika menggunakan kekuatan atas dasar iming-iming atau the power of iming-iming.
“Orang kalau dikasih iming-iming, di Indonesia tuh, kadang-kadang mau, mau enggak enggak gitu, tapi kalau sudah kepepet, dikerjain ya. jadi, kita harus cari tau apa yang mepet nih,” ujarnya.
Keempat, stretch your brain. Meskipun ke depan mahasiswa telah menjadi pengusaha, Heru mengatakan jangan berhenti belajar.
“Saya sampai detik ini masih belajar. Saya menghabiskan satu miliar lebih untuk ikutan seminar dan sertifikasi. Sampai keluar negeri. Karena buat saya, melatih otak itu penting. Sama kayak orang nge-gym,” ujarnya.
Ia mendorong mahasiswa untuk terus berlatih mengasah ketajaman berpikir kritis dan kreatif, baik dengan membaca buku, menonton YouTube, ikut seminar atau bergabung dengan komunitas yang positif.
“Apalagi zaman sekarang itu kan banyak sekali lingkungan yang toxic ya, kalau sudah tahu lingkungan yang toxic, tinggalin. Percaya deh, karena gak selamanya teman terbaik Anda itu bisa bantu Anda,” ungkapnya.
Kelima, without but and later. Tanpa ‘tapi’, tanpa ‘nanti’. Hal ini untuk melatih kedisiplinan sebagaimana yang ada di militer.
“Tanpa ‘tapi’, tanpa ‘nanti’, yang ada hanya siap laksanakan. Jadi, kalau saya bilang temuin hari ini 10 orang, siap laksanakan. Kayak tentara sih,” ujarnya.
Keenam, push the button. Terkadang, dalam kehidupan, masih ada kekhawatiran atau ketakutan untuk memulai bisnis atau melakukan sesuatu. Hal ini wajar dialami oleh setiap manusia.
Meski demikian, manusia seolah memiliki tombol yang siap dipencet atau ditekan untuk memperingatkan dirinya agar segera sadar dan kembali memulai pekerjaan dengan baik.
“Dulu istri saya setiap pagi dengerin radio, lagunya galau. Postingnya (di medsos) jadi galau. Tapi, sekarang sudah gak pernah lagi (karena sudah tekan tombol). Sekarang yang didengerin murottal,” katanya.
Ketujuh, take action. Lakukan tindakan untuk memulai menjalankan bisnis.
“Dulu saya waktu bisnis gak punya mentor, bangkrutnya berkali-kali. Tapi sekali punya mentor itu enak banget, karena ada yang mengarahkan. Tanpa ‘tapi’, tanpa ‘nanti’, push the button sama take action,” tuturnya.
Untuk memulai bisnis, Heru menyarankan mahasiswa bisa melakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah menjual sesuatu, menjalankan jejaring bisnis, mendirikan UMKM, atau bisnis lainnya sepanjang ada solusi dan pasar.
Menjalankan jejaring bisnis, misalnya, Heru memberikan contoh warung kopi atau warkop. Apabila keuntungan bersih hanya 2 juta saja, tentu belum mencukupi untuk kebutuhan hidup. Hal ini berbeda jika memiliki 100 warkop di beberapa tempat.
“Jadi, bukan seberapa besar profitnya, tapi seberapa banyak kita punya cabang. Dari dulu selalu seperti itu,” ujarnya.
Daya Ungkit (Leverage)
Untuk memulai bisnis, menurut Heru, tentu saja harus bicara tentang daya ungkit atau leverage.
Leverage bertujuan untuk menggunakan sumber daya secara efektif untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dan keuntungan yang lebih besar, sambil tetap mempertimbangkan risiko yang ada.
“Kalau kita mau ganti ban, gak pakai dongkrak, berat gak? Berat. Jadi, leverage itu adalah dongkrak biar kita mudah mau ngapa-ngapain,” ujarnya.
Untuk itu, menurutnya ada beberapa cara menggunakan daya ungkit agar bisnis memiliki keuntungan yang berlipat ganda.
Pertama, prinsip Pareto 20:80. Menurutnya, dalam bisnis itu justru effort pengusaha hanya 20%, tetapi mendapatkan hasil 80%. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pekerja, yang effort-nya 80%, sedangkan hasilnya hanya 20%. Maka disinilah berlaku hukum Pareto.
Kedua, Fishing or Netting. Memancing atau menjaring. Menurutnya, jika menggunakan prinsip memancing, maka mendapatkan hasilnya satu persatu. Berbeda dengan menjaring, maka akan mendapatkan sekaligus banyak.
“Maka berbisnis adalah sesuatu yang marketnya itu luas. Berbisnislah dengan jaringan, bukan berbisnis yang satu-satu,” ujarnya.
Ketiga, buying business, yakni dengan membeli bisnis yang sudah mengalami kebangkrutan. Menurutnya, ini memerlukan penjelasan tersendiri.
Keempat, don’t sell the product but the system. Tidak menjual produk, tetapi menjual sistem.
Dalam entrepreneurship, menjual sistem mengacu pada konsep menjual solusi yang lebih besar atau ekosistem yang mendukung produk daripada hanya fokus pada produk tunggal itu sendiri.
Ini berarti seorang pengusaha tidak hanya menawarkan produk fisik, tetapi juga menjual nilai tambah yang lebih luas melalui sistem, layanan, atau model bisnis.
“Kenapa Starbucks bisa bertahan, bisa ada di mana-mana? Karena dia jual sistem kan. Dia jual sistem, yang dia jual itu adalah royalty-nya gitu. MCD, KFC, itu kan bisa besar sampai kemana-mana,” ujarnya.
“Jadi, bisnis itu banyak macamnya. Tapi, kita bisa mulai dari hal yang kecil-kecil. Bisnis tanpa sistem itu gak akan pernah bawa kita sampai mana-mana. Kebayang gak sih kalau KFC atau Starbucks gak ada sistemnya?” tutupnya.
(SA/Kontributor)