Balikpapan, 12 November 2025 — Dalam memperingati Hari Ayah Nasional, Kaprodi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) Universitas Mulia, Bety Vitriana, S.Pd., M.Pd., mengungkapkan pandangannya tentang betapa pentingnya kehadiran sosok ayah dalam tumbuh kembang anak, terutama di masa usia dini. Menurutnya, ayah bukan sekadar pelengkap dalam keluarga, tetapi simbol keamanan, kekuatan, dan ketegasan yang memberikan dampak nyata terhadap perkembangan otak dan emosi anak.
“Kehadiran ayah yang responsif — cepat menanggapi isyarat anak, banyak bercanda, bermain, dan hadir secara fisik — menstimulasi otak anak untuk menghasilkan dopamin dan oksitosin,” tutur Bety. “Dua hormon ini berperan besar dalam meningkatkan konsentrasi, keberanian eksplorasi, serta kecepatan pemrosesan bahasa.”
Ia menambahkan, interaksi yang aktif antara ayah dan anak akan membangun kepercayaan diri serta kemampuan komunikasi anak. Bahkan, studi menunjukkan bahwa anak-anak yang rutin mendengar dongeng dari ayahnya minimal tiga kali seminggu memiliki kosakata 20% lebih luas ketika memasuki taman kanak-kanak.
Nilai-Nilai Keayah-an yang Membangun Karakter
Lebih lanjut, Bety menjelaskan bahwa peran ayah bukan hanya dalam mendampingi, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai psikologis dan moral.
Beberapa nilai keayah-an yang paling berpengaruh menurutnya antara lain:
- Konsistensi dan keteraturan, yang menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan pada dunia di sekitar anak.
- Gentle assertiveness, yaitu ketegasan tanpa kekasaran yang melatih anak mengatur emosi dan mengelola impuls.
- Growth mindset, di mana ayah memuji proses, bukan hasil, untuk menumbuhkan semangat belajar yang sehat.
- Respect terhadap ibu, agar anak belajar empati dan kesetaraan gender sejak dini.
- Kepemimpinan, yang secara nyata dicontohkan melalui cara ayah mengambil keputusan dan menjaga keharmonisan keluarga.
“Anak-anak belajar dengan mengamati,” ujar Bety. “Mereka melihat bagaimana ayah memperlakukan ibu, bagaimana ayah mengambil keputusan, dan dari sanalah mereka meniru model kepemimpinan dan komunikasi.”
Kolaborasi Ayah dan Ibu: Kunci Lingkungan Belajar yang Optimal
Dalam pandangan Bety, pendidikan anak usia dini yang efektif memerlukan sinergi antara ayah dan ibu. Keduanya memiliki fungsi berbeda namun saling melengkapi. Ibu cenderung menghadirkan kehangatan emosional, sementara ayah memberikan variasi rangsangan dan tantangan yang menumbuhkan keberanian anak.
Ia memberi contoh sederhana:
“Ibu bisa menyiapkan bahan sensorik di ‘learning corner’, sementara ayah membuat label bergambar besar. Ibu membacakan buku, ayah menambahkan pertanyaan ‘What if…?’ agar anak berpikir divergen.”
Selain itu, Bety menyarankan keluarga untuk mengadakan “family meeting” singkat setiap minggu selama 15 menit. Dalam pertemuan itu, orang tua dapat menyepakati strategi disiplin dan topik belajar anak, sehingga tercipta komunikasi yang konsisten dan tidak membingungkan anak.
Tantangan Ayah di Era Modern
Bety juga menyoroti tantangan-tantangan yang kerap dihadapi para ayah masa kini, mulai dari keterbatasan waktu, tekanan kerja, hingga norma sosial yang masih menempatkan pengasuhan sebagai “urusan ibu”. Namun, ia menekankan bahwa peran kecil yang konsisten lebih berharga daripada kehadiran yang jarang tapi lama.
“Cukup lima menit tatap muka dan pelukan hangat saat pulang, atau satu jam khusus di akhir pekan sudah sangat berarti bagi anak,” jelasnya.
Bety juga mengingatkan agar ayah tidak terburu-buru menyelesaikan masalah anak dengan solusi praktis, tetapi lebih dulu mendengarkan perasaan mereka. “Kadang anak hanya ingin didengar. Cukup tanyakan ‘Kamu sedang sedih ya?’ sebelum memberi solusi.”
Menumbuhkan Kecerdasan Emosional Anak
Peran ayah tidak berhenti pada aspek kognitif, tetapi juga sangat penting dalam pembentukan kecerdasan emosional. Ayah bisa melatih anak mengelola emosi melalui aktivitas sederhana, seperti menanyakan perasaan anak setiap malam (“Hari ini senang atau tidak? Skala 1–10”), menunjukkan cara bernapas saat stres, hingga memberikan pelukan 20 detik untuk merangsang hormon kenyamanan.
“Jangan bilang ‘jangan nangis’,” pesan Bety menutup wawancara. “Lebih baik katakan, ‘Ayah di sini, kita atasi bersama.’ Kalimat sederhana itu bisa menjadi pondasi bagi anak untuk belajar menghadapi dunia dengan rasa aman dan penuh kasih.”
Refleksi Hari Ayah
Pandangan akademik yang disampaikan Bety Vitriana bukan sekadar teori, tetapi pengingat penting bagi masyarakat bahwa ayah adalah pendidik pertama di rumah — sumber rasa aman, keteladanan, dan dorongan bagi anak untuk tumbuh menjadi pribadi tangguh dan berdaya saing.
Di Hari Ayah Nasional ini, Universitas Mulia mengajak seluruh sivitas akademika untuk merenungkan kembali: seberapa sering kita hadir bukan hanya sebagai pemberi nafkah, tetapi juga sebagai sumber kasih, teladan, dan inspirasi bagi anak-anak kita. (YMN)






























