Balikpapan, 25 November 2025 – Peringatan Hari Guru di Program Studi PGPAUD Universitas Mulia menjadi momentum refleksi mendalam tentang makna pendidik sebagai pembentuk fondasi peradaban sejak usia dini. Hari besar ini tidak sekadar menjadi penanda tanggal, tetapi menjadi pengingat peran guru PAUD sebagai agen perubahan di mana masa depan anak — dan masa depan bangsa — sedang dirancang.
Kaprodi PGPAUD, Bety Vitraya, S.Pd., M.Pd., menyampaikan bahwa Hari Guru merupakan pengingat tentang hakikat pendidik sebagai agen perubahan. “Kami mendidik manusia sebelum ia tahu bahwa ia adalah agen perubahan. Kami tidak hanya mengajarkan huruf atau angka, tetapi menanamkan empati, kepercayaan diri, dan imajinasi pada anak yang bahkan belum bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya,” ujarnya. Ia menegaskan, Hari Guru menjadi momen untuk tidak tenggelam dalam rutinitas hingga kehilangan makna dari profesi itu sendiri.
Guru PAUD: Dari Arsitek Peradaban Menjadi ‘Tukang Cat’
Bety menyebut realitas di lapangan masih jauh dari apresiasi ideal. Label “arsitek peradaban” berbanding terbalik dengan perlakuan yang diterima. “Di lapangan, arsitek ini sering dipakai sebagai tukang cat. Disuruh jagain anak saja, padahal kami sedang merancang jaringan syaraf kebaikan,” ujarnya. Ia menyinggung masih adanya guru PAUD dengan gaji Rp400 ribu per bulan, serta sekolah yang menuntut inovasi tanpa fasilitas dasar. Namun, dalam tekanan tersebut para pendidik justru menunjukkan jati diri terbaik mereka. “Arsitek sejati tidak mengeluh saat tanahnya berbatu. Ia merancang fondasi dari batu itu—memberdayakan apa pun yang ada agar anak pulang dari sekolah membawa pengalaman baru.”
PGPAUD Universitas Mulia: Tidak Sekadar ‘Siap Kerja’, tetapi ‘Siap Hidup’
Berbicara tentang proses pendidikan calon guru PAUD, PGPAUD UM tidak menyiapkan mahasiswa sekadar untuk mendapatkan pekerjaan. Prodi mengarahkan mahasiswa untuk siap menghadapi dinamika nyata di dunia pendidikan anak usia dini. Kurikulum PGPAUD berdiri di atas tiga pilar: kompetensi, kreativitas, dan karakter, dengan 60% praktik lapangan. Mahasiswa didorong untuk menganalisis kasus nyata di sekolah PAUD dan mengubahnya menjadi pengalaman pembelajaran.
“Mereka harus paham dunia anak itu bukan teori. Mereka harus bisa membaca situasi, merasakan emosi, dan merespons dengan ilmu dan ketulusan.”
Tiga Luka Besar: Gaji Rendah, Minim Pelatihan, dan Stigma Sosial
Saat ditanya tentang tantangan terbesar guru PAUD, Bety menyebut tiga persoalan yang masih akut:
- Gaji tidak layak – status dan tunjangan guru PAUD perlu regulasi yang jelas dan adil.
- Minim pelatihan – guru PAUD bukan sekadar pendidik, tetapi pembimbing anak dengan keunikan karakter; pelatihan berkelanjutan adalah kebutuhan strategis.
- Stigma “cuma babysitter” – masyarakat perlu menyadari kompleksitas tugas guru PAUD, termasuk mengasuh, menyuapi, mendampingi toilet training, hingga menenangkan anak dengan kebutuhan khusus.
“Ucapan terima kasih sederhana saat menjemput anak penting untuk mengikis stigma. Ada profesi suci di balik pekerjaan yang tampak sederhana.”
Guru PAUD Ideal: Bukan Superhero, Melainkan Manusia Super
Dalam pandangan Bety, guru PAUD profesional bukanlah tokoh fiksi serba bisa, melainkan manusia sungguhan dengan indra yang bekerja melampaui kemampuan biasa:
- Mata: melihat potensi, bukan keterbatasan.
- Telinga: mendengar keheningan anak dengan kebutuhan khusus.
- Tangan: kanan menulis, kiri memegang hati anak.
- Kaki: berpijak pada realitas, melangkah ke masa depan.
- Hati: penuh cinta, namun terjaga oleh disiplin.
Pesan untuk Guru PAUD: “Dunia Mungkin Tidak Tahu Namamu, tapi Sejarah Anak Mengabadikanmu”
Ungkapan paling emosional muncul saat Bety menyampaikan pesan Hari Guru untuk para pendidik PAUD di seluruh Indonesia.
“Untuk guru PAUD yang makan siangnya nasi dan telur digoreng dua kali agar anak-anak tetap bisa makan buah: kamu tidak sedang mengajar—kamu sedang menyelamatkan dunia dari kehilangan kebaikan.” Ia melanjutkan, “Ketika kamu berlutut menemani anak menangis karena puzzle tidak pas, itu adalah foto paling dekat dengan surga. Dunia mungkin tidak tahu namamu, tapi kenangan seorang anak menyebutmu pahlawannya, panutannya, malaikat kecilnya.”
Harapan untuk Mahasiswa PGPAUD
Penutup wawancara menyentuh kebanggaan profesi. “Saya tidak ingin mereka bangga karena gaji, tetapi karena jasa,” tegasnya. Ia meminta mahasiswa melihat kemuliaan profesi saat berhasil menutup kekosongan hati anak karena orang tuanya sibuk bekerja, atau saat mendampingi mereka membaca buku pertama. “Pada momen itu, Tuhan sedang menatapmu melalui mata manusia kecil. Populer atau tidak, engkau sedang memperkaya amal jariyah dan menyelamatkan masa depan dunia.” (YMN)



























