UM – Program Studi S1 Ilmu Hukum Fakultas Humaniora dan Kesehatan menyelenggarakan Kuliah Umum Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia di Ruang Eksekutif Universitas Mulia, Rabu (21/6). Sebagai narasumber Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Dr. Maneger Nasution, M.H., M.A.
Ketua Prodi Hukum Okta Nofia Sari, S.H., M.H mengatakan kuliah umum bersama dengan pejabat negara hingga praktisi di luar kampus sangat penting untuk memberikan pemahaman dan pelengkap materi pembelajaran di kelas.
“Dengan kuliah umum ini, kita mendapatkan pemahaman pentingnya perlindungan hukum kepada saksi dan korban dalam suatu permasalahan hukum. Dengan begitu, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan di bidang hukum di masa yang akan datang,” harap Okta.
Kuliah umum diikuti sejumlah dosen dan mahasiswa Prodi Hukum. Tampak juga dosen Kana Kurnia, S.H., M.H, juga tampak pengacara Balikpapan Yohanis Maroko S.H.
Sementara itu, Dr. Maneger Nasution yang berprofesi juga sebagai Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (Uhamka) Jakarta dan Dosen Pascasarjana ITB-AD Jakarta, mengatakan bahwa ada dua jalur Perlindungan Saksi dan Korban, yakni berdasarkan Perspektif UDHR atau Universal Declaration of Human Rights dan berdasarkan Perlindungan dalam Sistem Peradilan Indonesia.
UDHR atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah mengakui hak-hak dasar, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu. DUHAM mengatur hak-hak dasar manusia yang jadi pelaku kejahatan dan juga mengatur definisi korban, perlindungan dan penanganan serta hak-hak korban.
Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan pada DUHAM menyebutkan yang disebut korban adalah orang yang menderita kerugian lewat tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana di suatu negara.
Oleh karena itu, di dalam DUHAM, korban berhak mendapatkan keadilan, dipermudah dalam proses pengadilan, berhak tidak diganggu, dilindungi kebebasan dan keselamatannya, mendapat ganti rugi, bantuan material, psikologis maupun sosial.
Di Indonesia, perlindungan saksi diatur pada Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 50-68, yang hanya mengatur perlindungan terhadap Tersangka atau Terdakwa dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM.
Atas desakan masyarakat sipil dan mandat Reformasi diterbitkan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kemudian disusul dengan lahirlah LPSK pada tanggal 8 Agustus 2008.
UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan mandat agar memberikan perlindungan kepada Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana, dapat diberikan sejak tahap Penyelidikan dimulai (Pasal 8 ayat(1) UU Perlindungan Saksi dan Korban).
Selain itu, UU nomor 13 tahun 2014 juga menghendaki agar memfasilitasi hak pemulihan bagi korban kejahatan, baik dengan bantuan medis, psikologis,rehabilitasi psiko-sosial, fasilitasi kompensasi dan restitusi.
Adapun subyek perlindungan yang diatur dalam UU 13 tahun 2014 pasal 5 ayat 3 meliputi korban, saksi, saksi pelaku (Justice Collaborator), pelapor (Whistle Blower), dan ahli.
Dihubungi terpisah, Andi Sari Damayanti, S.H., M.H selaku moderator, menerangkan bahwa kuliah umum ini merupakan kerja sama dengan LPSK RI.
“Tujuannya adalah mahasiswa Prodi Hukum Universitas Mulia bisa bekerja sama menjadi Sahabat atau Agen Korban dan Saksi Tindak Pidana di Balikpapan khususnya, dan di Kaltim umumnya,” terang Andi.
Andi mengatakan, saat ini di Kota Balikpapan belum berdiri kantor LPSK. Meski demikian, mahasiswa, terutama Prodi Hukum bisa mendaftarkan diri melalui situs yang telah disediakan LPSK.
Ketika ditanya tentang peran mahasiswa sebagai agen LPSK, Andi mengatakan mahasiswa bisa mendaftarkan diri di situs lpsk.go.id. “Istilahnya sebagai Sahabat Saksi dan Korban,” pungkas Andi.
(SA/Puskomjar)