Balikpapan, 25 November 2025 — Peringatan Hari Guru Nasional di Universitas Mulia menjadi momentum refleksi terhadap makna profesi pendidik di era digital. Bagi Dr. Linda Fauziyah Ariyani, M.Pd., peran guru, dosen, maupun pembina kewirausahaan tidak hanya berada pada ranah transfer ilmu, tetapi menyentuh dimensi kemanusiaan dan pengembangan potensi mahasiswa.

Sebagai Dosen Manajemen sekaligus Kepala Inkubator Bisnis UM, Dr. Linda menilai bahwa teknologi memang telah memperluas akses belajar, namun masih ada satu hal yang tidak dapat digantikan—sentuhan hati seorang pendidik.

“Pendidik adalah lentera dalam kegelapan. Teknologi banyak mengubah pembelajaran, namun hanya guru yang mampu menyentuh hingga ke hati siswa,” tegasnya.

Dalam membimbing mahasiswa di kelas maupun di lingkungan inkubator bisnis, ia melihat bahwa setiap mahasiswa membawa bakat masing-masing sejak lahir. Tantangannya bukan sekadar menciptakan mahasiswa yang unggul secara akademik, namun menemukan keunikan potensi mereka dan mengarahkannya pada titik optimal.

“Tugas guru adalah menemukan bakat siswa dan mengoptimalkannya dengan baik. Jika ada siswa yang belum tampak kelebihannya, artinya guru belum berhasil menemukan bakatnya,” ujarnya.

Untuk menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan sekaligus bermakna bagi mahasiswa, Dr. Linda menerapkan pendekatan LINDA METHODS. Pendekatan ini tidak hanya menata pola mengajar, tetapi menghadirkan ruang yang mendorong motivasi intrinsik mahasiswa.

Ia menjelaskan bahwa LINDA METHODS terdiri atas:

  • Lead with energy, mengajar dengan energi dan semangat;
  • Involve through structure, mendesain suasana kelas melalui pengaturan ruang dan aktivitas;
  • Narrative learning, menghadirkan kisah inspiratif dalam pembelajaran;
  • Dialogue reflective, melibatkan dialog aktif alih-alih monolog;
  • Active synthesis, mahasiswa menyusun kesimpulan pembelajaran, bukan guru.

Menurutnya, integrasi elemen-elemen tersebut menjadikan kelas lebih hidup dan meninggalkan kesan yang kuat bagi mahasiswa, sekaligus menumbuhkan keberanian untuk bermimpi besar, memulai langkah kewirausahaan, dan tetap disiplin dalam jalur akademik.

Menutup wawancara, Dr. Linda menyampaikan pesan bahwa pendidikan harus terus menjadi bagian dari setiap aspek kehidupan manusia. Ia mengingatkan bahwa orientasi pendidikan tidak sekadar keuntungan material, namun peningkatan kualitas hidup.

“Pendidikan memang tidak pernah menjamin seseorang menjadi kaya, tapi pendidikan akan selalu menjadikan kualitas kehidupan manusia lebih baik,” ungkapnya.

Pernyataan tersebut menjadi refleksi kuat di Hari Guru Nasional: kualitas pendidikan ditentukan oleh kemauan pendidik untuk terus hadir, membimbing, serta menemukan bakat terbaik yang dimiliki setiap mahasiswa. (YMN)

 

Balikpapan, 25 November 2025 Peringatan Hari Guru di Program Studi PGPAUD Universitas Mulia menjadi momentum refleksi mendalam tentang makna pendidik sebagai pembentuk fondasi peradaban sejak usia dini. Hari besar ini tidak sekadar menjadi penanda tanggal, tetapi menjadi pengingat peran guru PAUD sebagai agen perubahan di mana masa depan anak — dan masa depan bangsa — sedang dirancang.

Kaprodi PGPAUD, Bety Vitraya, S.Pd., M.Pd., menyampaikan bahwa Hari Guru merupakan pengingat tentang hakikat pendidik sebagai agen perubahan. “Kami mendidik manusia sebelum ia tahu bahwa ia adalah agen perubahan. Kami tidak hanya mengajarkan huruf atau angka, tetapi menanamkan empati, kepercayaan diri, dan imajinasi pada anak yang bahkan belum bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya,” ujarnya. Ia menegaskan, Hari Guru menjadi momen untuk tidak tenggelam dalam rutinitas hingga kehilangan makna dari profesi itu sendiri.

Guru PAUD: Dari Arsitek Peradaban Menjadi ‘Tukang Cat’

Bety menyebut realitas di lapangan masih jauh dari apresiasi ideal. Label “arsitek peradaban” berbanding terbalik dengan perlakuan yang diterima. “Di lapangan, arsitek ini sering dipakai sebagai tukang cat. Disuruh jagain anak saja, padahal kami sedang merancang jaringan syaraf kebaikan,” ujar­nya. Ia menyinggung masih adanya guru PAUD dengan gaji Rp400 ribu per bulan, serta sekolah yang menuntut inovasi tanpa fasilitas dasar. Namun, dalam tekanan tersebut para pendidik justru menunjukkan jati diri terbaik mereka. “Arsitek sejati tidak mengeluh saat tanahnya berbatu. Ia merancang fondasi dari batu itu—memberdayakan apa pun yang ada agar anak pulang dari sekolah membawa pengalaman baru.”

PGPAUD Universitas Mulia: Tidak Sekadar ‘Siap Kerja’, tetapi ‘Siap Hidup’

Berbicara tentang proses pendidikan calon guru PAUD, PGPAUD UM tidak menyiapkan mahasiswa sekadar untuk mendapatkan pekerjaan. Prodi mengarahkan mahasiswa untuk siap menghadapi dinamika nyata di dunia pendidikan anak usia dini. Kurikulum PGPAUD berdiri di atas tiga pilar: kompetensi, kreativitas, dan karakter, dengan 60% praktik lapangan. Mahasiswa didorong untuk menganalisis kasus nyata di sekolah PAUD dan mengubahnya menjadi pengalaman pembelajaran.
“Mereka harus paham dunia anak itu bukan teori. Mereka harus bisa membaca situasi, merasakan emosi, dan merespons dengan ilmu dan ketulusan.”

 Tiga Luka Besar: Gaji Rendah, Minim Pelatihan, dan Stigma Sosial

Saat ditanya tentang tantangan terbesar guru PAUD, Bety menyebut tiga persoalan yang masih akut:

  1. Gaji tidak layak – status dan tunjangan guru PAUD perlu regulasi yang jelas dan adil.
  2. Minim pelatihan – guru PAUD bukan sekadar pendidik, tetapi pembimbing anak dengan keunikan karakter; pelatihan berkelanjutan adalah kebutuhan strategis.
  3. Stigma “cuma babysitter” – masyarakat perlu menyadari kompleksitas tugas guru PAUD, termasuk mengasuh, menyuapi, mendampingi toilet training, hingga menenangkan anak dengan kebutuhan khusus.

“Ucapan terima kasih sederhana saat menjemput anak penting untuk mengikis stigma. Ada profesi suci di balik pekerjaan yang tampak sederhana.”

Guru PAUD Ideal: Bukan Superhero, Melainkan Manusia Super

Dalam pandangan Bety, guru PAUD profesional bukanlah tokoh fiksi serba bisa, melainkan manusia sungguhan dengan indra yang bekerja melampaui kemampuan biasa:

  • Mata: melihat potensi, bukan keterbatasan.
  • Telinga: mendengar keheningan anak dengan kebutuhan khusus.
  • Tangan: kanan menulis, kiri memegang hati anak.
  • Kaki: berpijak pada realitas, melangkah ke masa depan.
  • Hati: penuh cinta, namun terjaga oleh disiplin.

Pesan untuk Guru PAUD: “Dunia Mungkin Tidak Tahu Namamu, tapi Sejarah Anak Mengabadikanmu”

Ungkapan paling emosional muncul saat Bety menyampaikan pesan Hari Guru untuk para pendidik PAUD di seluruh Indonesia.

“Untuk guru PAUD yang makan siangnya nasi dan telur digoreng dua kali agar anak-anak tetap bisa makan buah: kamu tidak sedang mengajar—kamu sedang menyelamatkan dunia dari kehilangan kebaikan.” Ia melanjutkan, “Ketika kamu berlutut menemani anak menangis karena puzzle tidak pas, itu adalah foto paling dekat dengan surga. Dunia mungkin tidak tahu namamu, tapi kenangan seorang anak menyebutmu pahlawannya, panutannya, malaikat kecilnya.”

Harapan untuk Mahasiswa PGPAUD

Penutup wawancara menyentuh kebanggaan profesi. “Saya tidak ingin mereka bangga karena gaji, tetapi karena jasa,” tegasnya. Ia meminta mahasiswa melihat kemuliaan profesi saat berhasil menutup kekosongan hati anak karena orang tuanya sibuk bekerja, atau saat mendampingi mereka membaca buku pertama. “Pada momen itu, Tuhan sedang menatapmu melalui mata manusia kecil. Populer atau tidak, engkau sedang memperkaya amal jariyah dan menyelamatkan masa depan dunia.” (YMN)

Balikpapan, 12 November 2025 — Dalam memperingati Hari Ayah Nasional, Kaprodi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) Universitas Mulia, Bety Vitriana, S.Pd., M.Pd., mengungkapkan pandangannya tentang betapa pentingnya kehadiran sosok ayah dalam tumbuh kembang anak, terutama di masa usia dini. Menurutnya, ayah bukan sekadar pelengkap dalam keluarga, tetapi simbol keamanan, kekuatan, dan ketegasan yang memberikan dampak nyata terhadap perkembangan otak dan emosi anak.

“Kehadiran ayah yang responsif — cepat menanggapi isyarat anak, banyak bercanda, bermain, dan hadir secara fisik — menstimulasi otak anak untuk menghasilkan dopamin dan oksitosin,” tutur Bety. “Dua hormon ini berperan besar dalam meningkatkan konsentrasi, keberanian eksplorasi, serta kecepatan pemrosesan bahasa.”

Ia menambahkan, interaksi yang aktif antara ayah dan anak akan membangun kepercayaan diri serta kemampuan komunikasi anak. Bahkan, studi menunjukkan bahwa anak-anak yang rutin mendengar dongeng dari ayahnya minimal tiga kali seminggu memiliki kosakata 20% lebih luas ketika memasuki taman kanak-kanak.

Nilai-Nilai Keayah-an yang Membangun Karakter

Lebih lanjut, Bety menjelaskan bahwa peran ayah bukan hanya dalam mendampingi, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai psikologis dan moral.

Beberapa nilai keayah-an yang paling berpengaruh menurutnya antara lain:

  • Konsistensi dan keteraturan, yang menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan pada dunia di sekitar anak.
  • Gentle assertiveness, yaitu ketegasan tanpa kekasaran yang melatih anak mengatur emosi dan mengelola impuls.
  • Growth mindset, di mana ayah memuji proses, bukan hasil, untuk menumbuhkan semangat belajar yang sehat.
  • Respect terhadap ibu, agar anak belajar empati dan kesetaraan gender sejak dini.
  • Kepemimpinan, yang secara nyata dicontohkan melalui cara ayah mengambil keputusan dan menjaga keharmonisan keluarga.

“Anak-anak belajar dengan mengamati,” ujar Bety. “Mereka melihat bagaimana ayah memperlakukan ibu, bagaimana ayah mengambil keputusan, dan dari sanalah mereka meniru model kepemimpinan dan komunikasi.”

Kolaborasi Ayah dan Ibu: Kunci Lingkungan Belajar yang Optimal

Dalam pandangan Bety, pendidikan anak usia dini yang efektif memerlukan sinergi antara ayah dan ibu. Keduanya memiliki fungsi berbeda namun saling melengkapi. Ibu cenderung menghadirkan kehangatan emosional, sementara ayah memberikan variasi rangsangan dan tantangan yang menumbuhkan keberanian anak.

Ia memberi contoh sederhana:

“Ibu bisa menyiapkan bahan sensorik di ‘learning corner’, sementara ayah membuat label bergambar besar. Ibu membacakan buku, ayah menambahkan pertanyaan ‘What if…?’ agar anak berpikir divergen.”

Selain itu, Bety menyarankan keluarga untuk mengadakan “family meeting” singkat setiap minggu selama 15 menit. Dalam pertemuan itu, orang tua dapat menyepakati strategi disiplin dan topik belajar anak, sehingga tercipta komunikasi yang konsisten dan tidak membingungkan anak.

Tantangan Ayah di Era Modern

Bety juga menyoroti tantangan-tantangan yang kerap dihadapi para ayah masa kini, mulai dari keterbatasan waktu, tekanan kerja, hingga norma sosial yang masih menempatkan pengasuhan sebagai “urusan ibu”. Namun, ia menekankan bahwa peran kecil yang konsisten lebih berharga daripada kehadiran yang jarang tapi lama.

“Cukup lima menit tatap muka dan pelukan hangat saat pulang, atau satu jam khusus di akhir pekan sudah sangat berarti bagi anak,” jelasnya.

Bety juga mengingatkan agar ayah tidak terburu-buru menyelesaikan masalah anak dengan solusi praktis, tetapi lebih dulu mendengarkan perasaan mereka. “Kadang anak hanya ingin didengar. Cukup tanyakan ‘Kamu sedang sedih ya?’ sebelum memberi solusi.”

Menumbuhkan Kecerdasan Emosional Anak

Peran ayah tidak berhenti pada aspek kognitif, tetapi juga sangat penting dalam pembentukan kecerdasan emosional. Ayah bisa melatih anak mengelola emosi melalui aktivitas sederhana, seperti menanyakan perasaan anak setiap malam (“Hari ini senang atau tidak? Skala 1–10”), menunjukkan cara bernapas saat stres, hingga memberikan pelukan 20 detik untuk merangsang hormon kenyamanan.

“Jangan bilang ‘jangan nangis’,” pesan Bety menutup wawancara. “Lebih baik katakan, ‘Ayah di sini, kita atasi bersama.’ Kalimat sederhana itu bisa menjadi pondasi bagi anak untuk belajar menghadapi dunia dengan rasa aman dan penuh kasih.”

Refleksi Hari Ayah

Pandangan akademik yang disampaikan Bety Vitriana bukan sekadar teori, tetapi pengingat penting bagi masyarakat bahwa ayah adalah pendidik pertama di rumah — sumber rasa aman, keteladanan, dan dorongan bagi anak untuk tumbuh menjadi pribadi tangguh dan berdaya saing.

Di Hari Ayah Nasional ini, Universitas Mulia mengajak seluruh sivitas akademika untuk merenungkan kembali: seberapa sering kita hadir bukan hanya sebagai pemberi nafkah, tetapi juga sebagai sumber kasih, teladan, dan inspirasi bagi anak-anak kita. (YMN)

 

Balikpapan, 10 November 2025 – Dalam refleksi Hari Pahlawan tahun ini, Dosen Program Studi Hukum Universitas Mulia, Shafyra Amalia Fitriany, S.Sosio., M.HP., menyoroti bentuk perjuangan hukum masa kini yang menurutnya tidak lagi berhadapan dengan penjajahan fisik, melainkan menghadapi tantangan baru seperti ketimpangan akses terhadap keadilan, bias gender, dan pengaruh kekuasaan yang kerap memengaruhi proses hukum.

Ia menyebut semangat para pahlawan hukum masa lalu perlu diterjemahkan ulang menjadi komitmen terhadap keadilan substantif, bukan sekadar kepatuhan pada prosedur formal. “Perjuangan hari ini adalah memastikan hukum tidak berhenti pada teks, tetapi hidup dalam keadilan yang dirasakan masyarakat,” ujarnya dalam wawancara.

Menurut Shafyra, tantangan kepercayaan publik terhadap hukum menuntut keberanian moral dari para insan hukum, terutama pendidik dan mahasiswa. “Kepahlawanan di tengah dinamika hukum berarti berani bersikap kritis dan konstruktif dalam sistem yang terus berproses menuju keadilan ideal,” tuturnya. Ia menambahkan, tugas utama akademisi hukum adalah menanamkan kesadaran etis bahwa hukum seharusnya menjadi alat koreksi sosial, bukan sekadar perangkat formal negara.

Mengenai penegakan hukum di Indonesia, Shafyra menilai kondisi saat ini masih berada dalam fase pembenahan. Nilai-nilai dasar seperti keadilan sosial, kemanusiaan, dan kedaulatan rakyat yang telah dirumuskan para pendiri bangsa tetap relevan dan harus terus diperjuangkan agar semakin tercermin dalam praktik hukum.

“Masih ada tantangan dalam penerapan hukum yang menunjukkan perlunya pembenahan sistemik agar hukum benar-benar berpihak pada kebenaran dan keadilan,” ungkapnya. Ia menilai penegakan hukum baru dapat dikatakan sejalan dengan semangat pendiri bangsa ketika hukum menjadi sarana pembebasan dan perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk perempuan, masyarakat adat, dan komunitas marginal.

Shafyra juga menyoroti peran mahasiswa hukum dalam melanjutkan semangat kepahlawanan tanpa harus terlibat dalam politik praktis. Menurutnya, peran itu justru bisa dimulai dari hal-hal sederhana namun bermakna. “Mahasiswa hukum bisa menjadi pahlawan dengan berpikir kritis, berani bersuara atas ketidakadilan, dan mengadvokasi isu sosial di lingkungan sekitarnya,” katanya.

Baginya, kepahlawanan mahasiswa terletak pada kemampuan menjembatani antara teori dan realitas sosial — antara hukum yang tertulis dan keadilan yang benar-benar dirasakan masyarakat.

Dalam konteks dunia digital, Shafyra mencatat fenomena baru dalam persepsi publik terhadap hukum yang sering disederhanakan dengan istilah “no viral, no justice.” Ia menjelaskan, fenomena ini menjadi cermin tantangan bagi sistem hukum untuk tetap menjamin keadilan tanpa bergantung pada sorotan publik.

“Idealnya, keadilan tidak semestinya menunggu menjadi viral,” tegasnya. “Sistem hukum yang adil, cepat, dan berpihak pada kebenaran seharusnya mampu berdiri dengan integritasnya sendiri — tanpa tekanan dari opini publik.” (YMN)

Balikpapan, 10 November 2025 – Bagi Fiqri Maulana Nuzulianto, S.IP., M.IP., dosen tamu mata kuliah Pancasila di Fakultas Hukum Universitas Mulia, bulan November merupakan ruang refleksi kolektif tentang makna perjuangan dan kebangsaan. Ia memandang 10 November bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi momentum untuk menakar kembali kesetiaan generasi kini terhadap nilai-nilai pengorbanan dan keberanian moral.

Menurutnya, kepahlawanan di masa kini tidak lagi diwujudkan melalui senjata, melainkan lewat upaya menjaga nalar etik bangsa. “Menegakkan Pancasila hari ini berarti melawan korupsi, menolak penyalahgunaan wewenang, dan menumbuhkan empati sosial,” tuturnya. Ia menyebut krisis moral dan individualisme sebagai bentuk penjajahan baru dalam makna sosial-budaya yang menggerogoti rasa kebersamaan.

Fiqri berpendapat, nilai kepahlawanan berbasis Pancasila harus menjadi mekanisme pertahanan moral bangsa — mendorong warga menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, memperkuat integritas personal, serta menghidupkan kembali solidaritas sosial yang mulai melemah di ruang publik digital.

Ia juga mengingatkan bahwa generasi muda kini berisiko kehilangan ruh kepahlawanan, karena nilai-nilai idealisme mulai terkikis oleh budaya instan dan pragmatisme sosial. “Pahlawan masa kini adalah mereka yang berani mengambil sikap, berinovasi, dan berkorban tanpa pamrih di ruang sosial maupun digital,” ujarnya. Fiqri mencontohkan bentuk kepahlawanan baru seperti mengawasi jalannya demokrasi melalui media digital, mendorong kesetaraan sosial, dan menjadi relawan di isu-isu kemanusiaan. “Mereka adalah pahlawan digital, sosial, dan intelektual — berjuang dengan data, nalar, dan kolaborasi,” tambahnya.

Menurutnya, penanaman nilai Pancasila dalam pendidikan tidak cukup bersifat kognitif, tetapi harus dilakukan secara transformasional. Ia mendorong agar kampus memberi ruang bagi tokoh dan aktivis muda sebagai teladan moral bagi mahasiswa. “Nilai tidak tumbuh dari hafalan, melainkan dari pengalaman dan interaksi dengan figur yang hidup dengan nilai itu,” jelasnya.

Model pembelajaran berbasis proyek, lanjutnya, dapat digunakan untuk menumbuhkan kesadaran kritis mahasiswa terhadap tantangan Pancasila di masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya literasi digital yang berakar pada etika Pancasila, agar ruang maya tidak menjadi sarang hoaks dan ujaran kebencian. Dengan demikian, mahasiswa tidak berhenti pada “pengetahuan tentang Pancasila”, tetapi menjadikannya “sikap hidup Pancasila”.

Bagi Fiqri, perjuangan mahasiswa hari ini adalah perjuangan karakter dan integritas. Mahasiswa, katanya, harus menjadi penggerak perubahan, pengontrol sosial, dan pewaris idealisme bangsa. “Tugas mereka bukan lagi merebut kemerdekaan, tetapi menjaga agar ilmu digunakan dengan tanggung jawab dan idealisme tetap dijaga dari kepentingan sesaat,” tegasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya peran kampus dalam membentuk generasi berjiwa kepahlawanan. Menurutnya, perguruan tinggi sebaiknya menjadi ruang yang memberi kesempatan bagi ekspresi kritis dan konstruktif mahasiswa. “Kampus idealnya menjadi laboratorium demokrasi yang sehat, tempat tumbuhnya dialog, kolaborasi, dan keberanian moral,” ujarnya.

Fiqri menutup pandangannya dengan ajakan agar semangat Pancasila benar-benar menjadi kebudayaan kampus yang hidup, tidak berhenti pada tataran kognitif semata. Ia menilai Pancasila perlu dijadikan pisau analisis dalam proyek akademik, pengabdian masyarakat, dan riset sosial. “Mahasiswa yang berintegritas dan berkontribusi sosial seharusnya mendapat penghargaan yang sama dengan mereka yang berprestasi akademik,” ujarnya. Baginya, itulah cara kampus menyalakan kembali semangat kepahlawanan — dengan ilmu, integritas, dan keberanian moral. (YMN)

Balikpapan, 10 November 2025 – Memperingati Hari Pahlawan, Rektor Universitas Mulia, Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Ahsin Rifa’i, M.Si., menegaskan bahwa kepahlawanan masa kini tidak lagi diukur dengan senjata atau seragam, melainkan dengan integritas dan keberanian moral dalam ilmu pengetahuan.

Menurutnya, nilai yang perlu dihidupkan di lingkungan akademik adalah keteladanan integritas — jujur, disiplin, berani mengambil sikap berbasis data, serta gotong royong lintas disiplin. “Itulah energi moral yang menghidupkan etos ilmiah, memperkuat kepercayaan publik, dan melahirkan karya yang bermakna,” ujarnya.

Prof. Ahsin menilai bahwa pahlawan masa kini bukanlah figur tunggal, melainkan ekosistem. “Para dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, alumni, dan mitra yang mengubah masalah nyata menjadi solusi teruji — dari kelas, laboratorium, hingga masyarakat — merekalah pahlawan yang sejati,” ungkapnya. Bagi beliau, kepahlawanan lahir dari integritas, kolaborasi, dan keberanian bereksperimen di tengah dinamika zaman.

Ia menggambarkan universitas sebagai arena kepahlawanan intelektual, tempat gagasan diuji, data diperdebatkan, dan etika dijaga. “Kita merayakan kebenaran melalui riset bermutu, pembelajaran kritis, dan pengabdian yang berdampak. Bukan dengan sorak-sorai, melainkan dengan standar, evidensi, dan akuntabilitas,” tegasnya.

Menjawab bagaimana Universitas Mulia menanamkan semangat tersebut, Prof. Ahsin menjelaskan sejumlah langkah sistemik yang telah dijalankan.
“Kami menanamkan literasi data, etika digital, dan skeptisisme metodologis melalui kurikulum OBE berbasis proyek, mata kuliah literasi informasi, tugas fact-checking, rubrik integritas akademik, serta pembiasaan rujukan primer dan reproduksibilitas hasil,” paparnya.

Dalam pandangannya, perjuangan setara dengan pahlawan hari ini adalah upaya memerdekakan pikiran dari hoaks, meningkatkan mutu riset dan pembelajaran, serta melayani masyarakat dengan teknologi tepat guna. “Itu termasuk membangun inovasi yang menyejahterakan — melalui publikasi, hak kekayaan intelektual, dan prototipe yang diadopsi industri,” jelasnya.

Bagi Prof. Ahsin, Hari Pahlawan juga menjadi refleksi pribadi tentang amanah kepemimpinan. “Maknanya adalah berani benar, adil, dan konsisten. Saya terinspirasi oleh Bung Hatta yang rasional, etis, dan visioner. Kepemimpinan harus berbasis data, dialog, dan tanggung jawab publik demi kemajuan Universitas Mulia,” tuturnya.

Menutup wawancara, Prof. Ahsin menyampaikan pesannya bagi generasi muda Universitas Mulia:
“Jadilah generasi yang cerdas, tangguh, dan rendah hati. Rawat rasa ingin tahu, jaga integritas, kolaborasi tanpa sekat, dan gunakan ilmu untuk melayani. Ukurlah diri dengan dampak, bukan sekadar gelar.” (YMN)

Balikpapan, 29 Oktober 2025 – Mahasiswa Program Studi Hukum Universitas Mulia melaksanakan kuliah lapangan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Balikpapan, dalam rangka pembelajaran mata kuliah Sosiologi Hukum yang diampu oleh Shafyra Amalia Fitriany, S.Sosio., M.HP. Kegiatan ini dirancang untuk membawa mahasiswa melihat secara langsung bagaimana sistem hukum dijalankan dalam praktik sosial, serta menghubungkan teori sosiologi hukum dengan kenyataan yang terjadi di lembaga pemasyarakatan.

Tim Fakultas Hukum Universitas Mulia berfoto bersama jajaran Lapas Kelas IIA Balikpapan — (dari kiri) Dedy Saad (Kasubsi Bimkemaswat, Lapas Kelas IIA Balikpapan), Shafyra Amalia Fitriany, S.Sosio., M.HP., Nur Arfiani, S.H., M.Si., Dekan Fakultas Hukum Budiarsih, S.H., M.Hum., Ph.D., serta petugas Lapas lainnya usai seremoni penyambutan kegiatan kuliah lapangan.

Shafyra menjelaskan bahwa pembelajaran di lapangan diperlukan agar mahasiswa tidak memahami hukum hanya sebagai kumpulan norma tertulis, melainkan sebagai fenomena sosial yang hidup dan terus berubah.

“Lapas adalah tempat di mana mahasiswa dapat mengamati bagaimana hukum benar-benar bekerja, bagaimana relasi kuasa terbentuk, dan bagaimana jarak antara law in the books dan law in action itu nyata,” ujar Shafyra.

Ia menambahkan, Lapas menjadi ruang yang memungkinkan mahasiswa meninjau teori kontrol sosial, pelabelan (labeling), hingga fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial. Melalui kegiatan ini, mahasiswa diajak memahami dinamika kehidupan setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan bagaimana proses pemasyarakatan memengaruhi individu serta masyarakat.

Secara akademik, kegiatan tersebut diintegrasikan langsung dengan Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) Sosiologi Hukum, yang menuntut mahasiswa mampu menganalisis efektivitas hukum secara empiris, mengevaluasi hubungan antara hukum dan masyarakat, serta menyusun gagasan solutif terhadap persoalan sosial-hukum. Kegiatan lapangan ini juga mendukung Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) Program Studi Hukum, khususnya dalam aspek kemampuan penelitian empiris dan penerapan pemikiran kritis terhadap praktik hukum di lapangan.

Shafyra Amalia Fitriany, S.Sosio., M.HP., Nur Arfiani, S.H., M.Si., Dekan Fakultas Hukum Budiarsih, S.H., M.Hum., Ph.D., bersama Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulia mengikuti upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda di Lapas Kelas IIA Balikpapan bersama pimpinan Lapas dan warga binaan pemasyarakatan.

Selama kegiatan berlangsung, mahasiswa melakukan observasi dan wawancara singkat dengan pendampingan petugas Lapas. Salah satu momen yang paling disorot adalah ketika petugas menjelaskan perbedaan pendekatan terhadap kasus narkotika. Menurut mereka, narapidana kasus narkoba semestinya lebih tepat diarahkan pada rehabilitasi daripada pemidanaan biasa. Dari diskusi tersebut, mahasiswa memahami bahwa sistem pemidanaan yang efektif tidak selalu berarti penghukuman, tetapi juga pemulihan.

“Mahasiswa melihat bahwa penjara bukan satu-satunya solusi. Ada kebutuhan akan mekanisme rehabilitasi yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan sosial. Pandangan seperti ini hanya bisa muncul ketika mereka berhadapan langsung dengan realitas di lapangan,” jelas Shafyra.

Dari sisi pembelajaran, kegiatan ini menggunakan pendekatan experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman. Shafyra menekankan bahwa mahasiswa perlu menjadi pengamat aktif, bukan sekadar penerima informasi di ruang kuliah. Interaksi langsung dengan petugas dan lingkungan pemasyarakatan mendorong mahasiswa menafsirkan kembali konsep keadilan dalam kerangka yang lebih manusiawi.

“Di balik tembok tinggi itu, ada manusia yang tetap memiliki hak dan martabat. Mahasiswa perlu melihat bahwa keadilan tidak berhenti pada vonis, melainkan berlanjut pada upaya memulihkan kehidupan seseorang agar kembali ke masyarakat,” tambahnya.

Bagi mahasiswa, pengalaman di Lapas memberikan pemahaman baru mengenai kompleksitas kehidupan warga binaan. Mereka menemukan bahwa di balik sistem pengawasan, terdapat upaya pembinaan seperti berkebun, membuat batako, dan kerajinan tangan. Dari situ, muncul refleksi bahwa hukum bekerja tidak hanya melalui aturan, tetapi juga melalui ruang sosial yang memberi kesempatan untuk berubah.

“Sebagian mahasiswa cukup terkejut melihat aktivitas produktif warga binaan. Namun yang lebih penting, mereka mulai memahami bahwa hukum bukan instrumen yang kaku. Hukum adalah proses sosial yang bergerak dan berinteraksi dengan kehidupan manusia,” kata Shafyra.

Fakultas Hukum Universitas Mulia merencanakan tindak lanjut kegiatan ini melalui kerja sama formal dengan Lapas Balikpapan. Proses penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Memorandum of Agreement (MoA) sedang dipersiapkan untuk memperluas bentuk kolaborasi, mencakup penelitian empiris, penyuluhan hukum bagi warga binaan dan keluarga, serta kegiatan pembinaan berbasis pengabdian masyarakat.

Shafyra menutup wawancara dengan refleksi tentang makna keadilan.

“Keadilan tidak bisa dipahami sebagai produk akhir berupa vonis. Ia harus dipandang sebagai proses yang manusiawi dan berkelanjutan. Mahasiswa hukum perlu memahami bahwa keadilan yang sejati bertujuan memulihkan harmoni sosial, bukan sekadar menghukum.”

Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulia melakukan pengamatan langsung di lingkungan Lapas Kelas IIA Balikpapan sebagai bagian dari kegiatan kuliah lapangan untuk memahami praktik penerapan hukum dalam kehidupan sosial nyata.

Melalui pendekatan akademik seperti ini, Universitas Mulia menegaskan peran institusionalnya dalam membentuk pendidikan hukum yang berorientasi pada penelitian empiris, berpihak pada nilai kemanusiaan, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kegiatan lapangan di Lapas Balikpapan menjadi contoh konkret bagaimana perguruan tinggi dapat menghubungkan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian dalam satu ruang yang sama — ruang di mana hukum, manusia, dan masyarakat bertemu secara nyata. (YMN)

Balikpapan, 28 Oktober 2025 – Peringatan Hari Sumpah Pemuda menjadi ajang bagi Universitas Mulia, khususnya Fakultas Hukum, untuk meninjau kembali arah pendidikan hukum yang mereka kembangkan. Fakultas ini menempatkan diri bukan sekadar pengajar teori hukum, tetapi sebagai laboratorium nilai — tempat mahasiswa ditempa menjadi pribadi yang adil, jujur, dan memiliki kesadaran kebangsaan.

Kaprodi Hukum Universitas Mulia, M. Asyharuddin, S.H., M.H., menilai bahwa hukum memiliki posisi strategis dalam menumbuhkan karakter pemuda Indonesia yang menjunjung tinggi nilai moral, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Menurutnya, semangat Sumpah Pemuda harus dibaca sebagai panggilan untuk membangun kesadaran hukum yang berpihak pada persatuan nasional.

“Hukum tidak berhenti sebagai norma tertulis, tetapi menjadi nilai hidup bersama. Pemuda perlu memaknainya sebagai panduan moral agar tumbuh sebagai agen perubahan yang berintegritas dan menjunjung semangat kebangsaan,” ujar Asyharuddin.

Fakultas Hukum Universitas Mulia memandang bahwa tantangan pembentukan karakter pemuda di era digital kini semakin kompleks. Meleknya generasi muda terhadap hukum di dunia maya, kata Asyharuddin, belum diiringi dengan kedewasaan etika digital.

“Pendidikan hukum perlu beradaptasi. Mahasiswa harus memahami hukum tidak hanya dari sisi aturan, tetapi juga dari kesadaran moral dalam menggunakan kebebasan berekspresi. Literasi hukum harus menyentuh ethos, bukan sekadar logos,” tegasnya.

Komitmen itu diwujudkan Fakultas Hukum Universitas Mulia melalui integrasi nilai kebangsaan dan hukum berkeadilan di seluruh kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Nilai nasionalisme dan etika profesi hukum disisipkan dalam kurikulum, kegiatan kemahasiswaan, riset dosen-mahasiswa, hingga pengabdian masyarakat berbasis nilai Pancasila dan kearifan lokal.

“Melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang berakar pada nilai kebangsaan, kami ingin melahirkan lulusan yang cerdas hukum sekaligus berjiwa nasionalis,” jelasnya.

Dalam konteks kehidupan berbangsa yang dinamis, Asyharuddin menekankan bahwa hukum seharusnya berfungsi sebagai alat pemersatu sosial. Prinsip equality before the law, menurutnya, adalah fondasi utama yang harus dijaga untuk membangun kepercayaan publik terhadap institusi hukum.

“Ketika hukum ditegakkan tanpa diskriminasi, rasa memiliki terhadap negara akan tumbuh. Itulah yang memperkuat persatuan,” ungkapnya.

Menilik makna Sumpah Pemuda, ia menilai bahwa nilai kesatuan dan tanggung jawab kolektif yang terkandung di dalamnya relevan untuk membangun legal consciousness atau kesadaran hukum generasi muda. Hukum, katanya, bukan sekadar urusan negara, tetapi juga tanggung jawab moral setiap warga negara dalam menjaga ketertiban dan keadilan.

“Kesadaran hukum tidak boleh lahir karena takut hukuman, tetapi karena cinta terhadap bangsa dan nilai keadilan,” ucapnya menegaskan.

Menutup wawancara, Asyharuddin berpesan agar mahasiswa hukum Universitas Mulia senantiasa menempatkan kemanusiaan sebagai inti dari penegakan hukum.

“Menjadi mahasiswa hukum bukan sekadar menghafal pasal, tapi menumbuhkan empati sosial dan semangat kebangsaan. Hukum tanpa nilai kemanusiaan hanyalah teks kosong. Hukum yang dijalankan dengan hati akan menjadi kekuatan untuk membangun Indonesia yang adil dan bermartabat,” tuturnya.

Melalui refleksi Sumpah Pemuda tahun ini, Fakultas Hukum Universitas Mulia menegaskan komitmennya untuk terus mencetak generasi hukum yang berjiwa persatuan, berintegritas, dan berorientasi pada kemanusiaan. Langkah ini menjadi bagian dari kontribusi nyata Universitas Mulia dalam membangun ekosistem pendidikan hukum yang adaptif, beretika, dan berpijak pada nilai-nilai kebangsaan. (YMN)

Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum untuk menghayati nilai persatuan yang lahir dari peristiwa G30S/PKI, sebagai pengingat bahwa hanya dengan pengamalan Pancasila bangsa ini mampu menghadapi ancaman ideologi apa pun.”—Dr. Agung Sakti Pribadi, S.H., M.H.

Balikpapan 1 Oktober 2025 Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal sebagai G30S/PKI masih menjadi salah satu catatan kelam perjalanan bangsa. Menurut Dr. Agung Sakti Pribadi, dosen Pancasila Universitas Mulia, peristiwa itu merupakan upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.

“Upaya tersebut berhasil diredam oleh TNI, dan peristiwa ini diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang gugurnya pahlawan revolusi serta mengingatkan masyarakat tentang pentingnya Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, peristiwa G30S/PKI menjadi momentum penting untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Dr. Agung menegaskan bahwa istilah “Hari Kesaktian Pancasila” memiliki arti simbolik yang mendalam. Menurutnya, peringatan ini bukan sekadar upaya mengenang peristiwa sejarah, tetapi juga sarana untuk meningkatkan nasionalisme dan patriotisme generasi muda.

Menyampaikan Sejarah secara Objektif

Ia menekankan pentingnya penyampaian kisah G30S/PKI kepada generasi muda secara obyektif. “Informasi tentang peristiwa 1965 harus disajikan akurat dan seimbang, tanpa berpihak pada sudut pandang tertentu. Tujuannya bukan menumbuhkan kebencian, melainkan memperkuat cinta tanah air dengan menekankan nilai-nilai persatuan, menjaga kerukunan, dan menumbuhkan toleransi,” jelasnya.

Pancasila sebagai Pedoman Pencegahan Ideologi yang Mengancam

Menurut Dr. Agung, Pancasila dapat dijadikan pedoman untuk mencegah lahirnya kembali ideologi yang mengancam persatuan bangsa melalui beberapa langkah. Pertama, menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, seperti toleransi, keadilan, dan persatuan. Kedua, meningkatkan kesadaran akan pentingnya identitas nasional. Ketiga, mendorong terbentuknya masyarakat yang inklusif dan toleran, di mana setiap orang dapat hidup berdampingan secara damai.

Pesan untuk Mahasiswa dan Masyarakat

Kepada mahasiswa dan masyarakat luas, ia berpesan agar peringatan 1 Oktober tidak berhenti pada seremoni. “Peringatan ini harus dimaknai dengan memahami nilai-nilai yang terkandung, menginternalisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, serta menjadi agen perubahan yang memperkuat persatuan bangsa,” tegasnya.

Mengelola Ingatan Kolektif Bangsa

Dr. Agung juga menyoroti pentingnya negara dalam mengelola ingatan kolektif tentang peristiwa 1965 dengan cara yang adil dan seimbang. Beberapa hal yang perlu dilakukan, menurutnya, adalah mengakui dan menghormati korban, menyajikan informasi yang akurat tanpa keberpihakan, serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga persatuan dan kerukunan. Selain itu, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Pancasila harus diperkuat, mencakup toleransi, keadilan, dan persatuan.

Pelajaran Besar dari G30S/PKI

Ia menyebut ada tiga pelajaran penting dari peristiwa G30S. Pertama, perlunya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ketiga, urgensi mengembangkan masyarakat inklusif dan toleran sebagai upaya mencegah konflik.

Peran Perguruan Tinggi

Menutup refleksinya, Dr. Agung menekankan peran strategis perguruan tinggi dalam merawat nilai-nilai Pancasila melalui kajian sejarah kritis. “Perguruan tinggi dapat mengembangkan kajian yang membantu memahami peristiwa masa lalu secara akurat dan seimbang, meningkatkan kesadaran akan pentingnya Pancasila, serta mengembangkan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai toleransi, keadilan, dan persatuan. Selain itu, perguruan tinggi perlu mencegah politisasi masa lalu dengan tetap menghadirkan kajian sejarah yang objektif,” pungkasnya.

Dengan demikian, menurut Dr. Agung, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab penting dalam merawat nilai-nilai Pancasila dan menjaga semangat persatuan bangsa melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian. (YMN)

WR III Bidang kemahasiswaan dan Alumni Universitas Mulia, Sumardi, S.Kom., M.Kom., paparkan urgensi budaya dan etika bermedia sosial dalam era digital yang penuh tantangan

Humas Universitas Mulia, 26 Mei 2025 Dalam kegiatan Sosialisasi Kinerja Kepolisian bertema “Sinergitas Kepolisian dan Perguruan Tinggi dalam Bijak Bermedia Sosial” yang digelar di Ballroom Cheng Hoo Universitas Mulia pada Senin, 26 Mei 2025, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Sumardi, S.Kom., M.Kom., turut tampil sebagai narasumber yang menyampaikan pemaparan bertajuk “Budaya dan Etika Digital Media Sosial.”

Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Mulia, Sumardi, S.Kom., M.Kom., saat memaparkan materi bertema Budaya dan Etika Digital Media Sosial dalam kegiatan Sosialisasi Kinerja Kepolisian, Senin (26/5/2025).

Dalam paparannya, Sumardi menekankan bahwa media sosial merupakan ruang publik baru yang membuka peluang besar bagi siapa saja untuk menyuarakan opini dan memperoleh informasi. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi di dunia maya tidaklah tanpa batas.

“Kebebasan berbicara, baik di dunia nyata maupun dunia maya, adalah hak asasi manusia yang dijamin konstitusi dan hukum internasional. Namun, hak tersebut harus disertai tanggung jawab dan tidak boleh melanggar hak orang lain maupun merusak ketertiban umum,” tegas Sumardi.

Mengutip Pasal 19 dan Pasal 20 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Sumardi menekankan pentingnya masyarakat, khususnya generasi muda, untuk memahami batasan hukum dan etika dalam menggunakan media sosial.

Para peserta tampak khusyuk memanjatkan doa bersama sesaat sebelum kegiatan Sosialisasi Kinerja Kepolisian dimulai di Ballroom Gedung Cheng Hoo Universitas Mulia.

Ia juga menggarisbawahi fenomena “digital native”, yakni generasi yang lahir dan tumbuh dalam ekosistem digital. Generasi ini sangat akrab dengan teknologi dan media sosial, namun belum tentu memiliki literasi digital yang memadai.

“Remaja hari ini sangat fasih menggunakan teknologi, tetapi belum tentu memahami dampak sosial dan etika dari setiap tindakan digital mereka. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menginternalisasi nilai-nilai budaya dan etika dalam aktivitas daring,” tambahnya.

Dalam presentasinya, Sumardi juga menguraikan beberapa advantage dan disadvantage dari media sosial. Di satu sisi, media sosial mampu meningkatkan konektivitas, edukasi, dan solidaritas sosial. Namun di sisi lain, ia juga dapat memicu masalah serius seperti perundungan siber (cyberbullying), penipuan digital, adiksi, hingga kerusakan reputasi pribadi.

Materi juga menampilkan The Ten Commandments of Computer Ethics, prinsip-prinsip moral dalam penggunaan teknologi informasi yang mencakup larangan menyebarkan hoaks, menghormati hak cipta, menjaga privasi, serta menghindari perilaku manipulatif dan tidak bertanggung jawab di ruang digital.

Suasana kegiatan Sosialisasi Kinerja Kepolisian yang berlangsung hangat dan interaktif, dengan dihadiri oleh sivitas akademika Universitas Mulia dan jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Timur.

Sebagai penutup, Sumardi mendorong mahasiswa Universitas Mulia untuk tidak hanya menjadi pengguna pasif media sosial, tetapi juga menjadi agen literasi digital yang mampu membedakan antara opini dan fakta, serta menjaga etika dan martabat dalam setiap interaksi daring.

“Jadilah netizen yang bahagia, yang menghargai nilai-nilai, sopan santun, dan berkontribusi positif dalam dunia digital,” pungkasnya.

Dengan penyampaian yang penuh semangat dan berbasis data, kehadiran Sumardi dalam forum ini memperkuat pesan pentingnya sinergi antara pendidikan tinggi dan aparat penegak hukum dalam membangun budaya digital yang sehat, cerdas, dan beretika.

Humas UM (YMN)