Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum untuk menghayati nilai persatuan yang lahir dari peristiwa G30S/PKI, sebagai pengingat bahwa hanya dengan pengamalan Pancasila bangsa ini mampu menghadapi ancaman ideologi apa pun.”—Dr. Agung Sakti Pribadi, S.H., M.H.

Balikpapan 1 Oktober 2025 Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal sebagai G30S/PKI masih menjadi salah satu catatan kelam perjalanan bangsa. Menurut Dr. Agung Sakti Pribadi, dosen Pancasila Universitas Mulia, peristiwa itu merupakan upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.

“Upaya tersebut berhasil diredam oleh TNI, dan peristiwa ini diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang gugurnya pahlawan revolusi serta mengingatkan masyarakat tentang pentingnya Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, peristiwa G30S/PKI menjadi momentum penting untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Dr. Agung menegaskan bahwa istilah “Hari Kesaktian Pancasila” memiliki arti simbolik yang mendalam. Menurutnya, peringatan ini bukan sekadar upaya mengenang peristiwa sejarah, tetapi juga sarana untuk meningkatkan nasionalisme dan patriotisme generasi muda.

Menyampaikan Sejarah secara Objektif

Ia menekankan pentingnya penyampaian kisah G30S/PKI kepada generasi muda secara obyektif. “Informasi tentang peristiwa 1965 harus disajikan akurat dan seimbang, tanpa berpihak pada sudut pandang tertentu. Tujuannya bukan menumbuhkan kebencian, melainkan memperkuat cinta tanah air dengan menekankan nilai-nilai persatuan, menjaga kerukunan, dan menumbuhkan toleransi,” jelasnya.

Pancasila sebagai Pedoman Pencegahan Ideologi yang Mengancam

Menurut Dr. Agung, Pancasila dapat dijadikan pedoman untuk mencegah lahirnya kembali ideologi yang mengancam persatuan bangsa melalui beberapa langkah. Pertama, menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, seperti toleransi, keadilan, dan persatuan. Kedua, meningkatkan kesadaran akan pentingnya identitas nasional. Ketiga, mendorong terbentuknya masyarakat yang inklusif dan toleran, di mana setiap orang dapat hidup berdampingan secara damai.

Pesan untuk Mahasiswa dan Masyarakat

Kepada mahasiswa dan masyarakat luas, ia berpesan agar peringatan 1 Oktober tidak berhenti pada seremoni. “Peringatan ini harus dimaknai dengan memahami nilai-nilai yang terkandung, menginternalisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, serta menjadi agen perubahan yang memperkuat persatuan bangsa,” tegasnya.

Mengelola Ingatan Kolektif Bangsa

Dr. Agung juga menyoroti pentingnya negara dalam mengelola ingatan kolektif tentang peristiwa 1965 dengan cara yang adil dan seimbang. Beberapa hal yang perlu dilakukan, menurutnya, adalah mengakui dan menghormati korban, menyajikan informasi yang akurat tanpa keberpihakan, serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga persatuan dan kerukunan. Selain itu, pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Pancasila harus diperkuat, mencakup toleransi, keadilan, dan persatuan.

Pelajaran Besar dari G30S/PKI

Ia menyebut ada tiga pelajaran penting dari peristiwa G30S. Pertama, perlunya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ketiga, urgensi mengembangkan masyarakat inklusif dan toleran sebagai upaya mencegah konflik.

Peran Perguruan Tinggi

Menutup refleksinya, Dr. Agung menekankan peran strategis perguruan tinggi dalam merawat nilai-nilai Pancasila melalui kajian sejarah kritis. “Perguruan tinggi dapat mengembangkan kajian yang membantu memahami peristiwa masa lalu secara akurat dan seimbang, meningkatkan kesadaran akan pentingnya Pancasila, serta mengembangkan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai toleransi, keadilan, dan persatuan. Selain itu, perguruan tinggi perlu mencegah politisasi masa lalu dengan tetap menghadirkan kajian sejarah yang objektif,” pungkasnya.

Dengan demikian, menurut Dr. Agung, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab penting dalam merawat nilai-nilai Pancasila dan menjaga semangat persatuan bangsa melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian. (YMN)

WR III Bidang kemahasiswaan dan Alumni Universitas Mulia, Sumardi, S.Kom., M.Kom., paparkan urgensi budaya dan etika bermedia sosial dalam era digital yang penuh tantangan

Humas Universitas Mulia, 26 Mei 2025 Dalam kegiatan Sosialisasi Kinerja Kepolisian bertema “Sinergitas Kepolisian dan Perguruan Tinggi dalam Bijak Bermedia Sosial” yang digelar di Ballroom Cheng Hoo Universitas Mulia pada Senin, 26 Mei 2025, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Sumardi, S.Kom., M.Kom., turut tampil sebagai narasumber yang menyampaikan pemaparan bertajuk “Budaya dan Etika Digital Media Sosial.”

Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Mulia, Sumardi, S.Kom., M.Kom., saat memaparkan materi bertema Budaya dan Etika Digital Media Sosial dalam kegiatan Sosialisasi Kinerja Kepolisian, Senin (26/5/2025).

Dalam paparannya, Sumardi menekankan bahwa media sosial merupakan ruang publik baru yang membuka peluang besar bagi siapa saja untuk menyuarakan opini dan memperoleh informasi. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi di dunia maya tidaklah tanpa batas.

“Kebebasan berbicara, baik di dunia nyata maupun dunia maya, adalah hak asasi manusia yang dijamin konstitusi dan hukum internasional. Namun, hak tersebut harus disertai tanggung jawab dan tidak boleh melanggar hak orang lain maupun merusak ketertiban umum,” tegas Sumardi.

Mengutip Pasal 19 dan Pasal 20 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Sumardi menekankan pentingnya masyarakat, khususnya generasi muda, untuk memahami batasan hukum dan etika dalam menggunakan media sosial.

Para peserta tampak khusyuk memanjatkan doa bersama sesaat sebelum kegiatan Sosialisasi Kinerja Kepolisian dimulai di Ballroom Gedung Cheng Hoo Universitas Mulia.

Ia juga menggarisbawahi fenomena “digital native”, yakni generasi yang lahir dan tumbuh dalam ekosistem digital. Generasi ini sangat akrab dengan teknologi dan media sosial, namun belum tentu memiliki literasi digital yang memadai.

“Remaja hari ini sangat fasih menggunakan teknologi, tetapi belum tentu memahami dampak sosial dan etika dari setiap tindakan digital mereka. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menginternalisasi nilai-nilai budaya dan etika dalam aktivitas daring,” tambahnya.

Dalam presentasinya, Sumardi juga menguraikan beberapa advantage dan disadvantage dari media sosial. Di satu sisi, media sosial mampu meningkatkan konektivitas, edukasi, dan solidaritas sosial. Namun di sisi lain, ia juga dapat memicu masalah serius seperti perundungan siber (cyberbullying), penipuan digital, adiksi, hingga kerusakan reputasi pribadi.

Materi juga menampilkan The Ten Commandments of Computer Ethics, prinsip-prinsip moral dalam penggunaan teknologi informasi yang mencakup larangan menyebarkan hoaks, menghormati hak cipta, menjaga privasi, serta menghindari perilaku manipulatif dan tidak bertanggung jawab di ruang digital.

Suasana kegiatan Sosialisasi Kinerja Kepolisian yang berlangsung hangat dan interaktif, dengan dihadiri oleh sivitas akademika Universitas Mulia dan jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Timur.

Sebagai penutup, Sumardi mendorong mahasiswa Universitas Mulia untuk tidak hanya menjadi pengguna pasif media sosial, tetapi juga menjadi agen literasi digital yang mampu membedakan antara opini dan fakta, serta menjaga etika dan martabat dalam setiap interaksi daring.

“Jadilah netizen yang bahagia, yang menghargai nilai-nilai, sopan santun, dan berkontribusi positif dalam dunia digital,” pungkasnya.

Dengan penyampaian yang penuh semangat dan berbasis data, kehadiran Sumardi dalam forum ini memperkuat pesan pentingnya sinergi antara pendidikan tinggi dan aparat penegak hukum dalam membangun budaya digital yang sehat, cerdas, dan beretika.

Humas UM (YMN)


Drs. Suprijadi, M.Pd, Dosen Universitas Mulia, Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur, PA - Fasilitator Program Sekolah Penggerak. Foto: Media Kreatif

Refleksi Hari Pendidikan Nasional dan Tantangan Kurikulum Deep Learning

Oleh: Drs. Suprijadi, M.Pd
Dosen Universitas Mulia, Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur, PA – Fasilitator Program Sekolah Penggerak

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai momentum reflektif untuk melihat sejauh mana pendidikan kita berjalan menuju cita-cita bangsa: mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Namun, apakah kita sudah berada di jalur yang tepat? Atau justru pendidikan kita kini berada di persimpangan jalan yang membingungkan?

Dalam konteks Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, pertanyaan-pertanyaan itu menjadi semakin relevan. Pendidikan kita tidak hanya menghadapi tantangan struktural dan kebijakan, tetapi juga ideologis dan filosofis, terutama dalam mengaktualisasikan kurikulum baru yang disebut Kurikulum Deep Learning.

Menguji Kualitas Sekolah Rakyat dan Ancaman Diskriminasi Struktural

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kebijakan “Sekolah Rakyat” yang bertujuan memberi akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Meskipun niatnya mulia, pelaksanaannya menimbulkan kekhawatiran. Alih-alih menjadi solusi, sekolah rakyat justru berpotensi melanggengkan dualisme dan diskriminasi pendidikan.

Menurut teori Equal Opportunity in Education (Bowles & Gintis, 1976), sistem pendidikan yang baik adalah sistem yang tidak hanya membuka akses, tetapi juga menjamin kesetaraan kualitas. Mendirikan sekolah khusus untuk masyarakat miskin berisiko menciptakan segregasi sosial.

Hal ini sejalan dengan kritik Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mengintegrasikan semua anak bangsa dalam satu sistem yang adil, bukan memisahkannya berdasarkan status ekonomi.

Solusinya bukan dengan membuka sekolah baru, melainkan memperkuat kolaborasi antar kementerian. Kementerian Sosial dapat bekerja sama dengan Kemendikdasmen untuk memastikan peserta didik dari keluarga miskin bisa diterima di sekolah negeri berkualitas tanpa seleksi.

Semua biaya pendidikan ditanggung negara, dengan tetap menjamin mutu sarana, prasarana, dan SDM pendidik. Ini jauh lebih hemat dan adil dibanding membuka sekolah baru dengan infrastruktur dan anggaran baru.

Kurikulum Deep Learning Menjanjikan, Tapi Belum Menjawab Semua Tantangan

Kurikulum selalu menjadi ladang eksperimen dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengganti kurikulum lebih dari 12 kali.

Kini, kita dihadapkan pada Kurikulum Deep Learning, yang diklaim mampu menjawab tantangan abad ke-21 melalui tiga pendekatan, yakni Pemahaman Mendalam, Mindful Learning, dan Joyful Learning.

Pendekatan ini selaras dengan teori konstruktivisme Vygotsky, yang menekankan pentingnya scaffolding (bantuan terstruktur) untuk membangun pemahaman melalui pengalaman yang bermakna.

Selain itu, Joyful Learning dan Mindfulness juga sejalan dengan pendekatan neuro-edukatif modern yang menekankan keseimbangan antara emosi dan kognisi.

Namun ada yang terlupakan: pentingnya Rote Learning (strategi hafalan) sebagai fondasi memori jangka panjang. Dalam konteks psikologi kognitif (Anderson, 1980), rote memorization masih relevan, terutama pada tahap awal belajar.

Tanpa penguasaan dasar yang otomatis dalam memori jangka panjang, kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) justru tidak bisa berkembang optimal.

Kurikulum Deep Learning yang ideal haruslah sintesis antara pemahaman mendalam dan penguasaan fakta-fakta dasar. Tanpa itu, kita hanya akan melahirkan generasi yang merasa “senang belajar” tetapi miskin pengetahuan.

Kebijakan Pendidikan Butuh Konsistensi, Bukan Ganti Menteri Ganti Kurikulum

Salah satu tantangan besar dalam pendidikan kita adalah inkonsistensi kebijakan. Setiap kali terjadi pergantian menteri, seringkali kurikulum juga ikut berubah. Ini menunjukkan lemahnya arah dan haluan pendidikan nasional.

Sudah saatnya Indonesia memiliki Garis-Garis Besar Haluan Pendidikan Nasional (GBHPN) yang bersifat jangka panjang, lintas rezim pemerintahan, dan disusun berbasis data, teori pendidikan, serta praktik terbaik global.

GBHPN harus menjadi “konstitusi pendidikan” yang memandu pengambilan kebijakan, bukan sekadar peta jalan jangka pendek seperti Roadmap 2045 yang kini ada.

Guru, Orang Tua, dan Masa Depan Pendidikan

Pendidikan bukan hanya urusan negara, tetapi juga tanggung jawab semua elemen bangsa. Hari Pendidikan Nasional adalah momen yang tepat untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada guru – pahlawan tanpa tanda jasa – yang telah membentuk karakter dan intelektualitas anak bangsa di tengah berbagai keterbatasan.

Namun, keluarga juga harus menjadi aktor utama. Orang tua perlu menjadi guru pertama dan utama di rumah. Jika orang tua hanya menyerahkan anak sepenuhnya pada sekolah, maka upaya mencerdaskan kehidupan bangsa akan berjalan pincang.

Dirgahayu Hari Pendidikan Nasional. Mari kita kawal masa depan pendidikan Indonesia agar tidak terus berada di persimpangan jalan. Pendidikan yang berkualitas, adil, dan berkesinambungan adalah satu-satunya jalan menuju Indonesia yang benar-benar maju dan berdaulat dalam kecerdasan.

Editor: Subur Anugerah