Kiat dan Strategi Menulis dengan Panca Indera Menurut Prof. Ersis

,
Foto bersama Prof. Ersis Warmansyah, Dr. Agung Sakti Pribadi, Prof. Jumadi seluruh peserta dan undangan. Foto: Media Kreatif

UM – Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat Prof. Ersis Warmansyah Abbas berbagi kiat dan strategi menulis untuk mahasiswa dan dosen Universitas Mulia, di Ballroom Cheng Ho, Rabu (29/5). Salah satu kiatnya agar produktif menulis adalah menulis dengan panca indera. Seperti apa?

Panca indera yang terdapat pada manusia pada umumnya adalah indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera pengecap (lidah), indera peraba (kulit), dan indera penciuman (hidung).

“Setiap orang mempunyai panca indera. Ketika saya melihat, misalnya, gedung Universitas Mulia dengan mata saya atau melihat jaket mahasiswa Universitas Mulia, itu (berarti) saya menulis melalui mata saya di otak,” terangnya.

“Kalau, misalnya, saya masukkan ke otak saya, jaket almamater mahasiswa Universitas Mulia adalah kuning, maka saya akan keliru. Tapi lama-lama dia jadi kebenaran,” tambahnya.

Prof. Ersis kemudian memberikan contoh betapa masih banyak kesalahpahaman yang terjadi pada masyarakat terkait dengan pemahaman.

Penggunaan istilah mahasiswa, misalnya. Di kampus hingga di masyarakat sering menggunakan kata mahasiswa dibanding dengan mahasiswi. Tapi, penggunaan istilah mahasiswa sudah lebih umum dibanding mahasiswi yang spesifik pada gender.

“Kadang-kadang saya bilang begini, mahasiswa UM tidak boleh memakai jilbab. Protes, (mesti) protes tuh,” katanya.

Jika bicara tentang gender, istilah mahasiswa sering digunakan untuk menyebut mahasiswa berjenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu, pernyataan seorang mahasiswa tidak boleh memakai jilbab, adalah benar.

Tetapi dalam sisi bahasa, penyebutan mahasiswa tidak spesifik pada gender semata, melainkan termasuk mahasiswa pria maupun wanita.

Oleh karena itu, ketika menjadi seorang penulis harus mampu menyusun kata dan kalimat yang benar dan tepat sesuai dengan konteksnya agar tidak disalahpahami oleh pembaca.

“Jadi, kadang-kadang kita keliru begitu dan kalau Anda jadi penulis, Anda harus hati-hati,” ujar Prof. Ersis.

Tips agar selalu hati-hati dalam menulis adalah harus membiasakan menerima data maupun informasi yang benar.

“Jadi, ingat, ketika menginput data di otak, jangan pernah salah,” ujarnya.

Prof. Ersis Warmansyah menerima cenderamata dari Direktur Ekeskutif Yayasan Airlangga Dr. Agung Sakti Pribadi. Foto: Media Kreatif

Prof. Ersis Warmansyah menerima cenderamata dari Direktur Ekeskutif Yayasan Airlangga Dr. Agung Sakti Pribadi. Foto: Media Kreatif

Meskipun seseorang berkebutuhan khusus, buta, misalnya, menurut Prof. Ersis sebenarnya masih bisa menulis di otaknya selama memiliki indra lainnya.

“Jadi, dari panca indera itu kita menulis,” sebutnya.

Di akhir sesi, Prof. Ersis memberikan tantangan untuk mahasiswa agar berani menulis. “Kita nulis buku sama-sama. Berani nggak? Nah, kalau berani kita tulis. Syaratnya bagaimana? Bebaskan pikiran dari aturan,” tantang Prof. Ersis.

Dalam tantangannya ini, mahasiswa diimbau untuk tidak takut salah menulis. Caranya, menulis apa yang pernah ditulis di otak.

“Misalnya begini, orang yang pernah jatuh cinta, tulis saja tentang jatuh cinta. Orang yang marah-marah terhadap sesuatu, tulis aja. Atau kalau Anda kagum dengan bangunan ala Cheng Ho di sini, tulis tentang itu. Atau bagaimana Anda masuk ke Universitas Mulia Balikpapan. Apa saja. Jadikan nanti tulisan bersama,” sebutnya.

“Nah. Jadi, adik-adik tulis apa yang adik alami dan pikirkan,” ujarnya. Bukan menulis tentang memikirkan orang lain.

“Ini Menteri Nadiem ini mau lanjut atau berhenti? Terserah dia saja. Dia mau lanjut jadi Menteri mau nggak, terserah. Itu bukan urusan kita, yang kita tulis adalah yang apa kita alami. Atau apa yang kita cita-citakan, apa yang kita maui,” ujarnya.

Ia kemudian bercerita pernah memiliki cita-cita kuliah di Belanda tahun 1978, tapi gagal. Justru sahabatnya yang semula diajaknya yang berangkat.

“Pokoknya saya ingin ke Belanda. Sampai saya Doktor, nggak bisa juga ke Belanda. Tapi, anak saya S3-nya bisa di Delft University. Itu universitas teknik paling bergengsi di Belanda,” ujarnya.

“Jadi, maksudnya adalah tanamkanlah keinginan di otak kita dan lakukanlah hal itu. Kalau kita tidak bisa melaksanakannya, kita masih punya anak, kita masih punya cucu, kita masih punya saudara, kita masih punya keluarga,” pungkasnya.

(SA/Kontributor)