Sosialisasi Kebijakan Kemendikbudristek tentang Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan teknologi RI Nadiem Anwar Makarim saat memaparkan latar belakang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi, Jumat (12/11). Foto: PSI

UM – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI Nadiem Anwar Makarim menyosialisasikan kebijakan Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual, Jumat (12/11). Dengan diterbitkannya Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS).

“Pendidikan tinggi merupakan batu loncatan, maka setiap kampus di Indonesia harus merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya,” tutur Mas Menteri Nadiem Makarim.

Menurut Nadiem, hal ini menjadi alasan mengapa perguruan tinggi mencapai idealisme yang lebih tinggi dari sisi perlindungan masyarakat di dalamnya. “Baik itu dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan di dalam lingkungan kampus,” tuturnya.

Nadiem mengatakan, saat ini negara dalam kondisi darurat selain pandemi Covid-19. Hal ini berdasarkan aduan yang diterima Komnas Perempuan yang menyebutkan kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan, 27% terjadi di pendidikan tinggi periode tahun 2015-2020.

Tahun 2019, berdasarkan 174 testimoni yang berasal dari 79 kampus di 29 kota, 89% korban kekerasan seksual adalah perempuan, sedangkan laki-laki sebanyak 4%.

Survei yang dilakukan Kemendikbudristek tahun 2020 yang lalu menyebutkan 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. 63% dari mereka tidak melaporkan kepada pihak kampus.

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI Nadiem Anwar Makarim saat memaparkan latar belakang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi, Jumat (12/11). Foto: PSI

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI Nadiem Anwar Makarim saat memaparkan latar belakang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi, Jumat (12/11). Foto: PSI

Beberapa peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia. Foto: PSI

Beberapa peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia. Foto: PSI

Tujuan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Foto: PSI

Tujuan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Foto: PSI

“Jadi fenomena ini sudah ada di semua kampus. Nah disitulah Kita sebagai pemerintah mengambil posisi untuk melindungi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan dari kekerasan seksual,” tutur Nadiem.

Nadiem kemudian bercerita tentang seorang mahasiswi yang 1-2 tahun yang lalu mengalami kekerasan seksual dari dosen. “Sejak saat itu dia melaporkan kepada beberapa temannya dan memberikan peringatan, nanti bagaimana, orang akan melihat kamu, kalau kamu tidak punya bukti bagaimana cara membuktikannya, dll,” ungkap Nadiem.

Mahasiswi ini pun sampai depresi, lanjut Nadiem. “Karena begitu takut dengan dosennya, maka mahasiswi ini memutuskan untuk meninggalkan pembelajarannya di kampus. Ini adalah satu dari puluhan ribu, bisa jadi ratusan ribu kasus yang mengalami kekerasan seksual dalam berbagai macam bentuk,” sesal Nadiem.

Ia terpaksa menceritakan kisah tersebut mengingat mimpi-mimpi untuk menjadikan perguruan tinggi berkualitas, menjadi World Class University akan kandas jika sivitas akademika merasa tidak nyaman akibat dampak dari satu kejadian saja.

“Inilah alasan negara harus menyoroti isu ini, bila perlu kita tindak kekerasan seksual secara tegas,” tandas Nadiem.

Menurut Nadiem, di perguruan tinggi saat ini belum ada peraturan perundangan yang dapat menangani kasus kekerasan seksual di kampus. Dari beberapa peraturan dan perundangan yang ada di Indonesia, beberapa di antaranya memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini mengisi kekosongan tersebut.

Terkait adanya polemik yang terjadi di masyarakat dengan kalimat “tanpa persetujuan korban” di Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang disalahartikan melanggengkan seks bebas atau perzinahan, menurut Nadiem, Kemendikbudristek tidak pernah mendukung seks bebas atau perzinahan.

“Sebelum kami mengeluarkan Permendikbudristek ini tidak pernah kami ada indikasi mendukung tindakan seks bebas atau perzinahan itu. Ini terjadi karena ada fase yang mungkin diambil di luar konteks,” tutur Nadiem. Meski demikian, Nadiem tetap dengan senang hati berdiskusi dan menerima kritik dari berbagai macam pihak.

“Tapi yang perlu dipahami bahwa PPKS ini tujuannya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai kesusilaan dan kekeluargaan, ini yang mau kita lindungi,” tutur Nadiem.

Fokusnya, lanjut Nadiem, PPKS ini adalah menyerang pandemi kekerasan seksual. “Bukan berarti hal-hal yang tidak masuk dalam definisi kekerasan seksual adalah diperbolehkan, tidak. Ada banyak yang masuk dalam asusila, norma, dan agama. Kami masih dalam beberapa bulan ke depan sowan pada beberapa pihak,” tuturnya.

Sementara itu, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU, ASEAN Eng., atas nama Ketua Forum Rektor Indonesia mengatakan bahwa Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 merupakan salah satu bentuk kepastian hukum yang coba diberikan oleh pemerintah melalui Kemendikbudristek. Hal ini sebagai bentuk tanggapan atas keresahan sivitas perguruan tinggi dan masyarakat serta meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Prof. Panut berharap peraturan tersebut dapat digunakan perguruan tinggi sebagai panduan atau pedoman bagi pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa untuk semakin teredukasi tentang batas-batas etis atau perilaku apa saja yang dipahami sebagai kekerasan seksual.

Sosialisasi Permendikbudristek PPKS ini diikuti langsung lewat aplikasi Zoom Webinar dan ditulis serta dilaporkan oleh perwakilan dari Universitas Mulia.

(SA/PSI)