Bimtek Penyusunan MUK, Pentingnya Sertifikasi Kompetensi sebagai Kunci Daya Saing Global

Suasana Bimbingan Teknis penyusunan MUK LSP Universitas Mulia di Ruang Eksekutif, Senin (10/2/2025). Foto: Vio/Media Kreatif

Peran Strategis LSP dalam Menjawab Kebutuhan Industri

UM – Sebanyak 32 dosen dari berbagai program studi menjadi peserta Bimbingan Teknis (Bimtek) penyusunan Materi Uji Kompetensi (MUK) untuk Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di Universitas Mulia, Senin (10/2/2025).

Bimtek yang digelar selama tiga hari ini berlangsung di Ruang Eksekutif Kampus Utama Universitas Mulia, Jalan Letjen Zaini Azhar Maulani Balikpapan. Narasumber utama Mada Aditya Wardhana, selaku Kepala Lembaga Sertifikasi Profesi Universitas Mulia.

Bimtek ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dosen dalam menyusun MUK yang relevan dengan kebutuhan industri, sekaligus meningkatkan daya saing lulusan di era global.

Dalam paparannya, Mada menekankan pentingnya sertifikasi kompetensi berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), sebagai solusi strategis meningkatkan daya saing lulusan dan pekerja di era global.

Mada membuka sesi dengan menjelaskan posisi strategis sertifikat kompetensi dalam sistem pendidikan dan ketenagakerjaan.

Dalam paparannya, Mada Aditya Wardhana menekankan pentingnya sertifikasi kompetensi sebagai pengakuan formal atas keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Ia bahkan menyebut sertifikasi kompetensi sebagai “mata uang” di pasar kerja internasional.

Sertifikasi kompetensi itu seperti mata uang yang mudah dikonversi di berbagai negara. Lebih mudah daripada mengkonversi ijazah, karena ijazah hanya diakui di negara di mana lembaga pendidikannya berada,” ujarnya.

Mada menjelaskan, sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), memiliki kedudukan yang setara dengan ijazah. Hal ini sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), yang mengakui pengalaman kerja sebagai salah satu jalur untuk mencapai kompetensi.

Jangan sampai kita menyebut sertifikat BNSP itu sebagai SKPI. Sertifikat BNSP itu setara dengan ijazah. SKPI itu hanya surat keterangan,” tegasnya.

Lantaran sertifikat kompetensi setara dengan ijazah, Mada mengatakan apabila ditemukan penyelewengan dalam penerbitannya, dampaknya sangat serius seperti memalsukan ijazah.

Ia mengingatkan peserta untuk memandang sertifikasi sebagai proses yang etis dan akuntabel, mengingat sertifikat BNSP dilengkapi fitur keamanan seperti hologram, barcode, dan nomor seri yang terintegrasi dengan database nasional.

Kepala LSP Universitas Mulia Mada Aditya Wardhana. Foto: Vio/Media Kreatif

Kepala LSP Universitas Mulia Mada Aditya Wardhana. Foto: Vio/Media Kreatif

Dosen dari Fakultas Ilmu Komputer tampak menyusun MUK LSP. Foto: Vio/Media Kreatif

Dosen dari Fakultas Ilmu Komputer tampak menyusun MUK LSP. Foto: Vio/Media Kreatif

Kelompok dosen Farmasi tengah menyusun dokumen MUK LSP. Foto: Vio/Media Kreatif

Kelompok dosen Farmasi tengah menyusun dokumen MUK LSP. Foto: Vio/Media Kreatif

Dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis menyusun MUK LSP. Foto: Vio/Media Kreatif

Dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis menyusun MUK LSP. Foto: Vio/Media Kreatif

Mada mendorong para dosen memanfaatkan SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) sebagai acuan dalam menyusun kurikulum dan RPS (Rencana Pembelajaran Semester).

Menurutnya, SKKNI dapat menjadi SOP (Standard Operating Procedure) di industri, MUK dalam sertifikasi, dan kurikulum berbasis kompetensi di pendidikan formal.

Apa yang diajarkan? Unit kompetensi. Apa yang disertifikasi? Unit kompetensi. Apa yang dilakukan di dunia kerja? Unit kompetensi,” tandas Mada.

Mada menekankan perlunya integrasi KKNI dalam penyusunan MUK. Menurutnya, KKNI tidak hanya menjadi acuan kurikulum, tetapi juga peta karir berbasis level kualifikasi (1-9) yang harus selaras dengan kebutuhan industri.

Di industri, kenaikan jabatan harus linier sesuai rumpun kompetensi. Misal, dari marketing ke keuangan itu tidak mungkin. Ini harus tercermin dalam skema sertifikasi,” jelasnya.

Ia mencontohkan kode okupasi internasional (misal: 2419 untuk Asesor Kompetensi) yang memudahkan rekognisi sertifikat di luar negeri.

Dalam Bimtek ini, seluruh peserta diajak menyusun MUK dengan memetakan tiga jalur pembelajaran, yakni jalur formal, pelatihan kerja, dan pengalaman kerja.

Multi entry multi exit system memungkinkan mahasiswa keluar masuk sesuai capaian pembelajaran. Jika putus studi, mereka tetap punya sertifikat kompetensi untuk bekerja,” ujarnya.

Peluang dan Tantangan LSP di Era Industri 5.0

Mada menyoroti pesatnya pertumbuhan LSP di sektor industri, seperti Pupuk Kaltim, FORNAS, dan PAMA. Ia mendorong perguruan tinggi untuk tidak ketinggalan dalam menyusun skema sertifikasi berbasis SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia).

Industri sudah mulai banyak memiliki LSP. Jika kampus tidak segera beradaptasi, lulusan kita akan kalah saing,” tandasnya.

Ia juga mengkritisi prodi seperti Hukum dan PAUD yang belum memiliki skema sertifikasi kuat serta mendorong asosiasi profesi untuk mengambil peran.

Di akhir sesi, Mada berpesan agar peserta memanfaatkan pelatihan ini untuk menyusun MUK yang terstruktur, relevan, dan berorientasi masa depan.

Bekali mahasiswa dengan sertifikat kompetensi sejak dini. Ini adalah bentuk tanggung jawab kita agar mereka siap kerja, bahkan jika tidak menyelesaikan studi,” tuturnya.

Ia juga mengajak dosen mengadopsi SKKNI dalam penyusunan RPS (Rencana Pembelajaran Semester). “Dengan merujuk SKKNI, tugas-tugas perkuliahan bisa langsung selaras dengan unit kompetensi yang diuji di industri,” tambahnya.

Bimtek ini tidak hanya memperkuat kapasitas dosen dalam penyusunan MUK, tetapi juga menjadi momentum transformasi pendidikan tinggi yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasar kerja.

Melalui integrasi KKNI, sertifikasi kompetensi diharapkan menjadi jembatan yang menghubungkan dunia akademik, pelatihan, dan industri. Di hari pertama pelaksanaan Bimtek MUK ini berhasil terkumpul usulan 21 skema sertifikasi kompetensi.

(SA/Kontributor)