Dosen Hukum Universitas Mulia Soroti “Penjajahan Baru” dalam Ketimpangan Hukum

, ,

Balikpapan, 10 November 2025 – Dalam refleksi Hari Pahlawan tahun ini, Dosen Program Studi Hukum Universitas Mulia, Shafyra Amalia Fitriany, S.Sosio., M.HP., menyoroti bentuk perjuangan hukum masa kini yang menurutnya tidak lagi berhadapan dengan penjajahan fisik, melainkan menghadapi tantangan baru seperti ketimpangan akses terhadap keadilan, bias gender, dan pengaruh kekuasaan yang kerap memengaruhi proses hukum.

Ia menyebut semangat para pahlawan hukum masa lalu perlu diterjemahkan ulang menjadi komitmen terhadap keadilan substantif, bukan sekadar kepatuhan pada prosedur formal. “Perjuangan hari ini adalah memastikan hukum tidak berhenti pada teks, tetapi hidup dalam keadilan yang dirasakan masyarakat,” ujarnya dalam wawancara.

Menurut Shafyra, tantangan kepercayaan publik terhadap hukum menuntut keberanian moral dari para insan hukum, terutama pendidik dan mahasiswa. “Kepahlawanan di tengah dinamika hukum berarti berani bersikap kritis dan konstruktif dalam sistem yang terus berproses menuju keadilan ideal,” tuturnya. Ia menambahkan, tugas utama akademisi hukum adalah menanamkan kesadaran etis bahwa hukum seharusnya menjadi alat koreksi sosial, bukan sekadar perangkat formal negara.

Mengenai penegakan hukum di Indonesia, Shafyra menilai kondisi saat ini masih berada dalam fase pembenahan. Nilai-nilai dasar seperti keadilan sosial, kemanusiaan, dan kedaulatan rakyat yang telah dirumuskan para pendiri bangsa tetap relevan dan harus terus diperjuangkan agar semakin tercermin dalam praktik hukum.

“Masih ada tantangan dalam penerapan hukum yang menunjukkan perlunya pembenahan sistemik agar hukum benar-benar berpihak pada kebenaran dan keadilan,” ungkapnya. Ia menilai penegakan hukum baru dapat dikatakan sejalan dengan semangat pendiri bangsa ketika hukum menjadi sarana pembebasan dan perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk perempuan, masyarakat adat, dan komunitas marginal.

Shafyra juga menyoroti peran mahasiswa hukum dalam melanjutkan semangat kepahlawanan tanpa harus terlibat dalam politik praktis. Menurutnya, peran itu justru bisa dimulai dari hal-hal sederhana namun bermakna. “Mahasiswa hukum bisa menjadi pahlawan dengan berpikir kritis, berani bersuara atas ketidakadilan, dan mengadvokasi isu sosial di lingkungan sekitarnya,” katanya.

Baginya, kepahlawanan mahasiswa terletak pada kemampuan menjembatani antara teori dan realitas sosial — antara hukum yang tertulis dan keadilan yang benar-benar dirasakan masyarakat.

Dalam konteks dunia digital, Shafyra mencatat fenomena baru dalam persepsi publik terhadap hukum yang sering disederhanakan dengan istilah “no viral, no justice.” Ia menjelaskan, fenomena ini menjadi cermin tantangan bagi sistem hukum untuk tetap menjamin keadilan tanpa bergantung pada sorotan publik.

“Idealnya, keadilan tidak semestinya menunggu menjadi viral,” tegasnya. “Sistem hukum yang adil, cepat, dan berpihak pada kebenaran seharusnya mampu berdiri dengan integritasnya sendiri — tanpa tekanan dari opini publik.” (YMN)